Memories of a Nonya

Satu lagi kisah nyata dari sini, kali ini cerita tentang Tjong A Fie, orang terkaya di nusantara pertama asal Medan. Bagi penggemar biografi, silakan dibaca. Bagi yang tidak, hehe..stop sampe disini aja deh, karena yang ini juga lumayan panjang ceritanya. Dan menurut gua kisahnya gak seheboh cerita Oei Tiong Ham, lebih boring yang ini. Enjoy :)

Bila di Jawa kita mengenal Oei Tiong Ham, maka di Sumatera kita punya Tjong A Fie. Tahun 1981, Queeny Chang, putri Tjong A Fie, menerbitkan buku riwayat hidupnya, “Memories of a Nonya”. Tentu saja ia banyak bercerita perihal ayahnya, seorang hartawan yang masih diingat masyarakat luas di Sumatera Utara dan Semenanjung Tanah Melayu sampai kini.

Menurut H. Yunus Jahja, semasa kanak-kanak di Medan ustad kenamaan K.H. Yunan Helmy Nasution belajar mengaji di salah satu mesjid sumbangan Tjong A Fie yang juga mendirikan berbagai kuil, gereja dan sekolah.

Tjong A Fie Dermawan Dari Medan

Pada tahun baru Imlek 1902, ayah mengadakan resepsi tahun baru di rumah kami. Saat itu saya berumur 6 tahun.
Ibu memakaikan saya sarung kebaya. Rambut saya yang botak di beberapa tempat akibat baru sembuh dari tifus, disanggul dan diberi beberapa tusuk sanggul berhiaskan intan. Berlainan dengan ibu, saya tidak cantik. Wajah saya pucat dan persegi. Mata saya sayu, bulu mata saya jarang dan alis mata saya tipis berantakan.

Ibu saya mengenakan kebaya dan songket. Rambut ibu yang hitam berkilat dihiasi sederet tusuk sanggul intan dan sekuntum bunga dari intan pula. Pada kebayanya disematkan kerongsang, yaitu bros yang terdiri atas tiga bagian. Yang paling atas berbentuk merak sedang mengembangkan ekornya. Dua yang lebih kecil bentuknya bulat. Perhiasan bertatah intan itu sedang mode di kalangan perempuan di Penang dan Medan.

Dalam resepsi itu, ibu berdiri di samping ayah. Sikapnya sangat anggun di antara tamu-tamunya yang terdiri atas orang-orang terkemuka pelbagai bangsa. Ia sadar akan kedudukan ayah sebagai pemuka golongan Cina dan bertekad tidak akan memalukannya. Kalau bercakap-cakap dengan orang asing, ibu berbahasa Melayu dengan fasihnya.

Ayah memegang sebelah tangan saya saat mengucapkan terima kasih kepada para tamu yang memberi selamat. Residen Belanda mengangkat saya tinggi-tinggi dan mencium kedua belah pipi saya. Permaisuri Sultan menggendong saya. Mereka tahu ayah sangat mencintai saya dan akan membatalkan resepsi ini kalau saya belum sembuh.

Walaupun ayah memangku jabatan sebagai Luitenant der Chinezen, tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendapat pendidikan formal. Begitu juga paman saya, Tjong Yong Hian, yang menjadi Kapitein der Chinezen.

Kulit Coklat Membawa Rezeki

Ayah saya meninggalkan toko kelontong ayahnya di daratan Cina, ketika ia berusia 18 tahun. Ia menyusul kakaknya, Yong Hian, ke Sumatera. Bekalnya cuma 10 dolar perak uang Manchu yang dijahitkan ke ikat pinggangnya. Tahun 1880, setelah berlayar berbulan-bulan dengan jung, ia tiba di Labuhan, kota kecil di pantai timur Sumatera. Didapatinya kakaknya sudah menjadi pemuka golongan Cina dengan pangkat Luitenant.

Paman mencarikan pekerjaan bagi ayah. Ayah bekerja di toko kelontong Tjong Sui Fo. Pemilik toko itu tertarik pada ayah memberi kesan jujur dan berani. Apalagi karena ia percaya bahwa orang yang kulitnya kecoklatan seperti ayah saya memiliki rezeki besar.

Ayah bekerja serabutan mengurusi pembukuan, melayani para pelanggan di toko, menagih rekening dan melakukan tugas-tugas lain. Majikannya puas, karena uangnya tidak tekor sesen pun. Lagipula para pelanggan yang biasanya sulit membayar, bisa dibujuk ayah untuk melunasi utang-utangnya.

Ayah saya pandai bergaul, dengan orang Melayu, Arab, India maupun dengan orang Belanda yang menjajah negeri ini. Ia belajar berbahasa Melayu, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan masyarakat pelbagai bangsa di kawasan ini.

Tjong Sui Fo merupakan pemasok barang untuk penjara setempat. Ayah sering mengantarkan barang ke sana dan sempat mendengarkan keluhan para tahanan. Banyak orang Cina ditahan bukan karena melakukan kejahatan, tetapi karena bergabung dalam Serikat Rahasia (Triad). Ayah bersimpati kepada mereka, tetapi ia mencoba menjelaskan bahwa keanggotaan dalam perserikatan itu dilarang oleh hukum.

Lama kelamaan ia mendapat kepercayaan dari berbagai pihak dan disegani di Labuhan. Masyarakat Cina meminta kepada penguasa Belanda agar mengangkat ayah menjadi Wijkmeester (bek, kepala distrik) bagi orang-orang Cina. Permintaan ini dikabulkan. Ayah pun berhenti dari Tjong Sui Fo, tetapi tidak pernah melupakan budi mantan majikannya.

Ayah berkantor di Medan. Kantornya ini sebuah bangunan kayu beratap rumbia. Masa itu ayah sudah menikah dengan putri keluarga Chew, suatu keluarga yang terkemuka di Penang dan merupakan pionir pula seperti ayah. Ketika mereka sudah mempunyai tiga orang anak, isterinya yang baru berumur 32 tahun meninggal. Sebagai duda berumur 35 tahun, ayah menikah lagi. Sekali ini dengan seorang gadis berumur 16 tahun, ibu saya.

Terkenal Galak

Ibu saya, Lim Koei Yap, dilahirkan tahun 1880 di Binjai dan tidak pernah bersekolah. Ia tinggal di perkebunan tembakau karena ayahnya kepala mandor di Sungai Mencirim, salah sebuah perkebunan di Deli. Kakek saya memimpin ratusan kuli kontrak, kebanyakan Cina perantauan.

Nenek saya keras dan kolot. Ia menganggap seorang gadis hanya perlu belajar memasak dan membuat kue, sebab tempat perempuan katanya di dapur. Ibu saya berjiwa pemberontak. Ia sering merasa dirinya lebih pandai daripada saudara-saudaranya yang laki-laki.

Kalau sedang bertengkar, ia sering berkata, “Lihat saja nanti, saya pasti akan melebihi kalian semua!” Saudara-saudaranya biasa menjawab, “Kamu kira siapa sih kamu? Istri Tjong A Fie?” Tidak seorang pun menyangka hal itu akan menjadi kenyataan.

Ibu mencapai umur untuk menikah tanpa pernah dilamar orang. Namun suatu hari kakek didatangi salah seorang comblang dari Medan. Ibu saya dilamar Tjong A Fie.

Kakek merasa sungguh-sungguh mendapat kehormatan, tetapi ia was-was. Perbedaan umur antara Tjong A Fie dan putrinya terlalu besar. Namun di pihak lain ia ingin cepat-cepat menikahkan putrinya yang terkenal galak ini. Ia sangsi kesempatan baik ini akan terulang.

Ayah mengaku mempunyai seorang istri di daratan Cina, isteri pilihan orangtuanya yang tidak bisa ia ceraikan, dan yang kini merawat ibunya yang sudah tua, sehingga tidak bisa menyertainya ke Sumatera.

Ayah juga mengaku baru kematian istrinya yang lain, yang meninggalkan tiga orang anak, yang seorang anak laki-laki berumur 15 tahun dan dua anak perempuan berumur 12 dan 11 tahun. Ibu menghargai kejujuran ayah dan mau menerima lamaran ayah, asal ayah berjanji tidak akan beristri lain. Ayah menerima syarat itu.

Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah naik pangkat sehingga ibu dianggap membawa rezeki. Saya lahir dua belas bulan setelah mereka menikah dan mendapat nama Fuk Yin. Kemudian saya ditinggalkan bersama seorang pengasuh karena ayah membawa ibu ke daratan Cina untuk dipertemukan dengan nenek di Desa Sungkow.

Menurut ibu, ia dimanjakan mertuanya, yang menyebutnya menantu saya yang di perantauan. Dengan sebutan ini nenek ingin menjelaskan bahwa tempat ibu saya adalah di samping ayah saya, sedangkan ibu Lee, yaitu isteri ayah yang di Sungkow, bertugas merawat rumah ayah di sanan dan mengawasi sawah.

Nenek yang autokratik tahu bagaimana cara membuat dua menantu berdamai di bawah satu atap. Masing-masing diberi penjelasan bahwa tugas mereka sama pentingnya. Ibu Lee bangga dan puas karena dipercaya mengurus harta suaminya.

Ibu yang Galak dan Memeh yang Manis

Setelah saya mempunyai seorang adik laki-laki, Fa Liong kami pindah ke rumah baru (kini rumah no. 105 di Jl. Jenderal A. Yani, Medan). Di mata saya rumah itu rasanya besar dan bagus sekali. Dalam upacara pindah rumah, ibu menggendong Fa Liong sedangkan saya dibimbing seorang perempuan jangkung berpakaian gaya Cina. Saya tidak tahu siapa dia.

Karena saya tidak bisa diam, ibu melotot dan menjewer saya. Sebaliknya perempuan berpakaian Cina itu manis sekali terhadap saya. Ibu menyuruh saya memanggilnya Memeh (Ibu). Saya juga disuruh memanggil kakak kepada seorang pemuda berusia 19 tahun yang baik sekali kepada saya dan kepada dua orang gadis lain.

Perempuan dan ketiga orang yang saya panggil kakak itu tinggal di rumah kami. Saya pikir, mereka kerabat kami yang baru datang dari Cina dan belum mempunyai rumah sendiri. Kami biasa makan bersama-sama. Memeh selalu memilih daging ayam yang paling empuk untuk ditaruh di mangkuk nasi saya. Kadang-kadang saya tidur dengannya dan mendengarkan dongengannya.

Memeh dan ibu selalu tampak bercakap-cakap dengan gembira. Saya berharap Memeh dan ketiga kakak tinggal selamanya dengan kami, karena saya merasa berbahagia bersama mereka. Saya tidak tahu berapa lama saya hidup berbahagia seperti itu. Mungkin setahun, mungkin beberapa bulan.

Tahu-tahu suatu malam saya terbangun karena mendengar ibu dan Memeh berteriak-teriak marah. Saya dengar ibu mengancam Memeh, “Kalau kamu berani mendekat, kamu akan berkenalan dengan pisauku.”

Kemudian ibu masuk ke kamar saya. Ia memakaikan mantel pada saya, lalu diangkatnya adik dari tempat tidur. Diseretnya saya ke luar dari pintu belakang, menuju jalan yang sudah sepi. Ketika saya menangis, ibu menampar saya.

Kebetulan di muka rumah kami lewat kereta yang dihela oleh kuda. Dengan kendaraan itu kami pergi ke tengah perkebunan tembakau. Kereta dihentikan di sebuah rumah kayu beratap rumbia yang diterangi lampu minyak. Ternyata itu rumah kakek dan nenek. Ibu minggat dari rumah!

Ibu tidak mau menjumpai ayah dan tidak mau pulang, sehingga kakek dan nenek kewalahan. Kakek meminta ayah membiarkan ibu sampai marahnya reda. Beberapa bulan kemudian, kami dijemput ayah dengan kereta terbuka yang dihela kuda putih. Saat menjemput kami itu ayah mengenakan seragam upacara Luitenant der Chinezen, seperti yang biasa dipakainya kalau diundang ke tempat residen atau sultan.

Tiba di rumah, saya tidak menemukan Memeh maupun ketiga kakak. Mereka sudah pergi. Ibu menuntut mereka dipulangkan ke Sungkow. Saya baru tahu bahwa Memeh adalah ibu Lee, istri ayah dari daratan Cina, sedangkan ketiga kakak adalah anak-anak almarhumah Ibu Chew. Saya tidak pernah lagi melihat memeh dan kakak saya yang laki-laki tetapi kedua kakak perempuan saya kemudian kembali dalam kehidupan saya.

Ibu Belajar Menulis dan Membaca

Ketika umur saya tujuh tahun, saya mendapat izin khusus dari residen untuk belajar di sekolah anak-anak Belanda. Sebelumnya ibu meminta saran dan kenalannya, isteri seorang hakim Belanda, perihal pakaian apa yang sepatutnya saya kenakan ke sekolah.

Saya mendapat celana dalam sepanjang lutut yang dihiasi renda. Rok dalam katun yang dihiasi pula dan rok terusan sepanjang lutut dan berlengan pendek. Rasanya aneh sekali, karena sangat berbeda dengan pakaian anak Cina dan anak pribumi, yang selama ini biasa saya kenakan.

Hari pertama, saya diantar ayah ke sekolah. Saya tidak bisa berbahasa Belanda sepatah pun, tetapi karena umur saya sudah tujuh tahun, saya diterima langsung ke kelas dua. Supaya bisa mengikuti pelajaran, saya disarankan mendapat pelajaran tambahan. Saat saya les di rumah, ibu selalu mengawasi saya dengan cermat dan galak, sambil mengunyah sirih.

Ibu selalu menjaga agar dandanan saya rapi setiap pergi ke sekolah. Pita di rambut saya selalu rapi disetrika. Kalau ada pesta, pakaian saya selalu yang paling indah. Ibu ingin saya merasa tidak lebih rendah daripada gadis-gadis Belanda. Ia tidak perlu kuatir, sebab saya mudah bergaul dan segera dianggap sebagai salah seorang dari mereka.

Ibu bukan cuma memaksa saya belajar, tetapi ia sendiri juga belajar bercakap-cakap dalam bahasa Belanda dari seorang guru perempuan. Ia bahkan belajar menulis. Mula-mula bacaannya cuma dongeng-dongeng, tetapi kemudian ia giat membaca tulisan tulisan yang lebih rumit, seperti etiket pergaulan. Ia ingin bisa berbicara dan bersikap seanggun wanita-wanita asing.

Rupanya ia berbakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia pantas bersarung kebaya yang menyempatkan ia mengenakan perhiasan-perhiasannya, tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri wanita-wanita Eropa, ia mengenakan rok. Seleranya baik. Ia tidak pernah tampak terlalu mencolok. Tidak ada yang menyangka tadinya ia gadis dusun.

Ketika saya belajar bermain piano dari Maestro Paci, ia belajar menyanyi dari Ny. Paci, seorang penyanyi profesional. Dalam pertemuan-pertemuan akrab di rumah kami, kadang-kadang ibu bernyanyi. Sayang ia berhenti belajar ketika suami isteri Paci meninggalkan Medan.

Ketika saya berumur 10 tahun, kami mendapat kabar kalau Memeh meninggal. Seminggu setelah itu kakak saya yang laki-laki pun meninggal karena TBC. Padahal ia baru setahun menikah dan meninggalkan seorang bayi laki-laki. Ibu menyuruh saya dan Fa Liong berkabung untuk Memeh. Setahun lamanya saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru. Rambut saya diberi pita biru dan kuncir adik saya diikat dengan benang biru.

Tidak lama setelah kematian kakak, ibu melahirkan seorang bayi laki-laki lagi, Kian Liong yang diterima ayah dengan linangan air mata. Hadiah-hadiah mengalir dari para pedagang Cina, berupa perhiasan emas berbentuk naga, singa, unicorn, kalung, gelang kaki yang digantungi bel-bel kecil.

Sultan menghadiahkan model miniatur istananya yang ditaruh di kotak kaca. Kursi, meja, pepohonan dan bunga-bunga miniatur pada model itu dihiasi intan kasar. Sementara orang-orang Eropa memberi perlengkapan piring mangkuk perak dengan sendok garpunya, sedangkan orang-orang Arab dan India memberi perhiasan emas gaya mereka sendiri.

Bertemu Belanda “Butut”

Mobil kami yang pertama adalah sebuah Fiat convertible. Kami menyebutnya motor kuning karena warnanya kuning. Saya tidak tahu betapa kayanya ayah, sampai suatu hari ia memberitahu ibu bahwa ia membeli perkebunan karet Si Bulan. Administraturnya seorang Belanda, Meneer Kamerlingh Onnes.

Tadinya pria Belanda itu pembuat onar dalam keluarganya, yaitu keluarga terkemuka dan terhormat di negerinya. Ia dikirim ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan, tetapi berkali-kali dipecat.

Ayah menemukannya sedang duduk melamun menghadapi gelas kosong di hotel Medan. Belum pernah ayah melihat seorang kulit putih berpakaian compang camping dan bersepatu butut seperti itu, sehingga ayah ingin tahu siapa dia dan mengapa bisa sampai begitu. Setelah mendengar ceritanya, ayah terkesan oleh kejujurannya dan menawarkan pekerjaan sebagai administratur perkebunan. Tidak pernah kedua orang itu merasa menyesal.

Ketika usaha ayah di bidang perkebunan maju, Meneer Kammerlingh Onnes diserahi menjadi kepala pengawas semua perkebunan itu: perkebunan karet, kelapa, teh. Ayah merupakan orang Cina pertama yang memiliki perkebunan-perkebunan karet di daerah ini dan yang pertama pula memperkerjakan orang-orang Eropa.

Keturunan Pesilat dan Bajak Laut

Paman saya, Tjong Yong Hian dan ayah mendirikan sekolah dan rumah sakit tempat orang-orang yang kurang mampu bisa mendapatkan perawatan gratis. Mereka menyumbang kelenteng-kelenteng, gereja-gereja, mesjid-mesjid, maupun kuil-kuil Hindu. Mereka pun mengirimkan sumbangan ke daratan Cina untuk korban paceklik dan banjir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak petani di desa kelahiran mereka.

Mereka membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bahkan membuka perusahaan kereta api Chao Chow dan Swatow dekat tempat kelahiran mereka, sehingga paman yang lebih ambisius, mendapat gelar kehormatan Menteri Perkeretaapian dari pemerintah Mancu dan diterima beraudiensi oleh Kaisar Janda Cixi. Kalau ia naik tandu ke desanya, di depan tandunya selalu ada pembuka jalan yang menabuh gong dan penduduk pun berlutut di tepi jalan.

Namun paman meninggal tidak lama kemudian. Ayah menggantikannya menjadi Kapitein der Chinezen. Ketika itu saya sudah lulus SD dan mendapat tambahan adik laki-laki lagi, Kwet Liong. Ayah mengusahakan agar kakek saya dari pihak ibu menjadi Luitenant der Chinezen di kota minyak Pangkalan Brandan. Pengangkatan ini pasti dipergunjingkan orang, tetapi ayah merasa ia mempunyai alasan.

Untuk menguasai orang-orang Cina di tempat itu diperlukan orang kuat. Mereka kebanyakan Hai Lok Hong yaitu keturunan para pesilat dan bajak laut, sedangkan kakek saya sendiri seorang Hai Lok Hong. Akhirnya, semua orang puas dengan pilihan ayah.

Dijodohkan

Ayah saya menyediakan tanah untuk sekolah Metodis di Medan, yang diurus keluarga Pykerts. Keluarga ini sendiri tinggal di Penang. Kalau sedang berada di Medan, mereka tinggal di rumah peristirahatan milik ayah di Pulu Branyan. Di Tempat ini ayah mempunyai kebun binatang. Kami bukan hanya memelihara burung seperti kakaktua atau kasuari, tetapi juga ular, jerapah, zebra, kangguru dan keledai kelabu.

Kemudian keluarga Pykerts mengundang kami ke Penang. Ibu memenuhi undangan itu dengan mengajak Fa Liong, Jambul (Kian Liong) dan saya.

Dalam salah satu perjamuan yang diadakan keluarga Pykerts di Penang ini, kami berjumpa dengan seorang wanita cantik yang sangat fasih berbahasa Inggris. Ternyata ia Ny. Sun Yat Sen yang singgah dalam perjalanan ke Cina. Sun Yat Sen adalah presiden pertama Republik Cina. Ia dipuja oleh Cina Komunis maupun Nasionalis.

Pernah orangtua saya berniat menyekolahkan saya ke Belanda. Namun setelah saya lulus dari SD, hal itu tidak pernah disebut-sebut lagi. Saya malah disuruh belajar memasak dan menjahit, dua hal yang tidak mampu saya lakukan dengan baik sehingga saya terus-menerus dimarahi ibu.

Suatu malam, kakak saya berlainan ibu, Song Yin memberitahu saya bahwa saya sudah dipertunangkan dengan seorang pria dari daratan Cina.

“Apa? Dipertunangkan?” tanya saya. “Ibu tidak memberitahu saya. Saya akan dinikahkan dan pergi ke Cina?” Malam itu Song Yin mengajak saya ke kamar ayah kami. Dari lemari ia mengeluarkan sehelai foto yang memperlihatkan seorang pemuda Cina dalam pakaian tradisional dan berkopiah.

Wajahnya tampan, tetapi pakaian itu membuat ia tampak tidak menarik bagi saya. Song Yin membuka lipatan sebuah saputangan sutra merah dan didalamnya terlihat sepasang gelang emas berukir aksara Cina.

“Ini calon suamimu dan gelang emas ini tanda pertunangan. Paman kita yang mengatur pernikahan ini tiga tahun yang lalu, ketika kamu baru berusia 13 tahun,” katanya. Ayah kami harus menurut kata-kata kakaknya dan janji yang sudah dibuat tidak boleh diingkari.

“Mengapa bukan kakak Fo Yin saja yang dijodohkan dengannya?” tanya saya. Fo Yin adalah anak angkat paman. “Fo Yin lebih tua.” jawab Song Yin. Ia membujuk saya, “Jangan sedih, Dik. Kamu akan menjadi menantu orang yang sangat kaya dan sangat dihormati.”

Lebih Suka Main Boneka daripada Menjadi Pengantin

Saya mulai belajar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dari Mrs. Smith, seorang perempuan Australia dan melanjutkan belajar memainkan piano. Ternyata keluarga calon suami saya, keluarga Lim, ingin pernikahan kami tidak ditunda-tunda lagi. Menurut peramal tanggal tiga bulan sepuluh pada tahun tikus (1912) merupakan tanggal dan tahun baik.

Teman saya, Minnie Rahder, putri residen, terpesona melihat kamar pengantin yang dipersiapkan untuk saya. “Kau gadis yang bahagia,” katanya. Padahal saya lebih menghargai kiriman boneka dari Sinterklas yang matanya bisa dipejam dan terbuka.

Orangtua saya menyediakan bekal pernikahan yang berharga, sebab anak perempuan yang tidak dibekali secukupnya akan dihina oleh keluarga suaminya.

Calon pengantin pria tiba diiringi 12 pengantar yang terdiri atas pamannya, seorang governess (guru pribadi) Amerika, seorang sekretaris berkebangsaan Eropa, seorang sekretaris Cina, empat pelayan, seorang koki dan seorang budak perempuan untuk melayani governess. Mereka ditempatakan di Pulau Branyan yang akan menjadi kediaman sementara kami sebelum berangkat ke Cina.

Fa Liong yang saat itu berumur dua belas, ikut ayah menjemput mereka. Ketika kembali, ia berkata kepada saya, “Kak, calon suami kakak sama tingginya dengan saya. Pasti ia cuma sepundak kakak.”

“Bohong! Dia kan sudah berumur dua puluh.” kata saya.

“Masa bodoh kalau tidak percaya. Pokoknya dia pendek.” Saya jadi kuatir. Ganjil betul kalau pengantin perempuan jauh lebih tinggi daripada suaminya.

Saya dengar ibu bercerita kepada bibi bahwa paman calon pengantin pria mengatakan, “Pelayan-pelayan yang dibawa oleh pengantin perempuan langsung dianggap selir pengantin pria.” Tentu saja ibu saya protes, “Anak saya dilahirkan di negara yang diperintah oleh seorang ratu dan kami disini hanya boleh punya satu istri!”

Konon paman pengantin pria tidak tersenyum mendengar protes ibu. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ibu tidak jadi membawakan dua pelayan perempuan bagi saya, padahal mereka sudah didatangkan dari desa ayah.

Terakhir Kali Main Kuda-kudaan

Malam sebelum hari pernikahan saya, Fa Liong mengajak saya bermain kuda-kudaan, seperti yang sering kami lakukan kalau ibu sedang tidak berada di rumah. Saya memasang tali kendali di bahu Fa Liong, lalu ia berlari dan saya mengikutinya sambil memegang kendali dan cambuk mainan. Sementara itu kami berteriak-teriak sambil saya mengejarnya di kebun dan di dalam rumah.

Pesta pernikahan saya dihadiri antara lain oleh Sultan dan Residen. Lalu tibalah saatnya saya dibiarkan berduaan saja dengan suami saya. Saya merasa canggung. Saya hanya bisa berbahasa Hakka bercampur melayu. Suami saya hanya bisa berbahasa Hokkian.

Berkat Mrs. Grey, governess suami saya, bahasa Inggris saya maju pesat selama kami berada di Pulau Branyan. Sebenarnya suami saya lebih suka kalau saya belajar berbahasa Hokkian, sebab ibunya hanya paham bahasa itu.

Sebulan kemudian kami melakukan kunjungan perpisahan, antara lain pada Sultan Deli yang memanggil saya, “Putriku”. Permaisuri mendekap saya, seakan-akan saya masih gadis kecil yang dulu sering bermain ke istananya. Sultan dan permaisurinya menjamu kami.

Sejak kecil saya sering datang ke istana, sehingga saya tidak merasa asing di sana. Tidak demikian dengan Mrs. Grey, governess suami saya yang terkesan sekali melihat perhiasan yang dikenakan sultan dan keluarganya. Akhirnya, tibalah saatnya untuk meninggalkan ayah, ibu, adik-adik dan semua yang saya kenal.

Menantu Barbar

Ketika kami turun dari kapal di Amoy, banyak sekali orang menyambut. Bunyi petasan memekakkan telinga. Saya diapit oleh empat penyambut perempuan yang berpakaian indah. Dalam perjalanan berulang-ulang mereka mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami. Ternyata saya diminta berjalan perlahan-lahan. Akhirnya saya sadar bahwa kaki mereka kecil karena diikat, sehingga tidak bisa berjalan dengan leluasa.

Saat akan naik ke dalam tandu kepala saya terantuk atapnya. Maklum saya belum pernah naik benda yang diusung manusia itu. Saya dibawa ke sebuah bangunan bergaya Barat untuk menghadap mertua saya. Mertua perempuan saya cantik.

Sesudah upacara penghormatan selesai, mertua laki-laki saya bangkit diikuti mertua perempuan dan kami. Kami mesti menurun tangga. Karena melihat kaki ibu mertua saya kecil, saya khawatir ia terjatuh. Secara spontan saya bimbing lengannya.

Terdengarlah suara terkejut dari kaum perempuan yang menyaksikan adegan ini. Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan jadi saya tetap saja membimbing lengan ibu mertua saya. Ternyata tindakan saya itu dianggap menyalahi tata cara. Mestinya mertua yang menuntun menantu, bukan menantu yang menuntun mertua. Akibatnya, saya disebut barbar.

Ternyata mertua laki laki saya sangat kaya. Ia memiliki enam selir yang melayani pelbagai kebutuhannya.

Perempuan yang Mencurigakan

Pada saat suami saya masih orang asing bagi saya, saya harus hidup dalam lingkungan yang bahasa, kebiasaan dan orang-orangnya tidak saya kenal. Untunglah ibu mertua saya termasuk salah seorang yang paling manis dan paling agung yang pernah saya jumpai dalam hidup ini.

Suatu hari kakak perempuannya datang dari desa. “Menantumu jauh dari cantik, kakinya menyeramkan besarnya. Apa betul ia seorang putri barbar?” Konsepsinya mengenai kecantikan ialah kerempeng seperti pohon Yangliu (Willow), kaki cuma 7,5 cm panjangnya dan bentuk wajah seperti kuaci. Saya tidak memiliki semuanya.

Mertua saya menanggapi, “Tidak perduli bagaimanapun rupanya dan siapa dia. Dialah perempuan yang kuhendaki menjadi isteri putraku.”

Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot.”

Pada hari tahun baru, saya satu-satunya orang yang mengenakan pakaian gaya Eropa. Saya merasa canggung, tetapi Mrs. Grey memuji saya dan berkata saya seperti ratu. Sejak hari itu ia memanggil saya Queeny, yang sepadan dengan nama suami saya, King Jin yang selalu dipanggil King.

Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orang tua saya ini, saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada saya seakan-akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya.

Saya melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan diletakkan di pundak suami saya. Saya bertanya kepada seorang pelayan tua, “Mui-ah, siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu?”

“Oh, itu!” jawah Mui-ah dengan sikap jijik. “Tadinya dia pelayan Nyonya besar.” Kata Mui-ah yang polos itu, perempuan itu pernah mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.

Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya harus mengendalikan diri. Saya merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam diri saya. Sakit seperti itu belum pernah saya rasakan. Padahal saya tidak mempunyai seorang pun untuk mencurahkan isi hati. Ketika itu saya sedang mengandung.

Ketika hal itu saya tanyakan kepada suami saya, ia menjawab acuh tak acuh, “Semuanya kan sudah lewat. Sekarang ia sudah menikah.” Luka itu meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang dari hati saya.

Saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Tong tahun 1914. Ayah mertua saya bangga karena pada hari ulang tahunnya yang ke-40 ia sudah mempunyai cucu.

Bertemu Calon Raja Karet

Di masa yang lalu, anak perempuan yang sudah menikah tidak boleh berkunjung ke rumah orang tuanya, kecuali kalau diundang. Setelah kelahiran Tong, ayah menulis surat kepada besannya, untuk mengundang suami saya dan saya serta bayi kami ke rumahnya di Medan. Mertua saya memberi izin dengan syarat Tong ditinggalkan pada mereka.

Kami pun berlayar ke selatan. Di pelabuhan, kami dijemput dengan gerbong kereta api milik Sultan pribadi. Kendaraan itu pula yang mengantarkan kami pergi dua tahun sebelumnya. Di Medan, masyarakat Hakka dan Hokkian bersama-sama menjemput kami, karena ayah mertua saya adalah tokoh masyarakat Hokkian di Cina.

Ketika saya berangkat ke Amoy, tubuh saya termasuk montok. Kini saya kembali ke Medan dalam keadaan langsing. Satu setengah bulan berlalu dengan cepat dan saya pun harus kembali ke rumah mertua.

Menjelang musim gugur, kesehatan suami saya mundur. Diperkirakan iklim tropis baik baginya. Jadi kami diperbolehkan pergi ke Medan lagi, asal Tong ditinggalkan di Amoy. Tentu saja ayah senang menerima kami.

Di kapal, kami berkenalan dengan seseorang bernama Lee Kong Chian yang kami undang untuk berkunjung ke tempat ayah. Suami saya mengajaknya berkeliling meninjau perusahaan-perusahaan ayah, di antaranya perkebunan dan Deli Bank yang bersaing dengan bank-bank barat.

“Tampaknya seluruh Medan ini milik ayah mertuamu,” komentarnya kepada suami saya. “Kalau melihat semua ini, tidak sulit buat kamu memulai usaha sendiri.” Suami saya dengan penuh keyakinan berkata, “Kalau ayah mertua saya bisa, mengapa saya tidak?” Lee menjawab, “Mertuamu mulai dari bawah. Ia tahu apa artinya kegigihan, sedangkan kamu lahir sebagai anak orang kaya.”

Ayah menawarkan beasiswa kepada Lee, tetapi ia menolak. Ia lebih suka bekerja di sebuah perusahaan sepatu karet yang besar di Singapura, milik Tan Kak Kee. Ketika suatu hari kami mengunjunginya di Singapura, ternyata ia tinggal di sebuah kamar sempit yang lembab dan berbau karet.

Pulang dari sana, suami saya menghela nafas. “Ah, teman kita yang malang.” katanya. Kami tidak pernah menyangka bahwa kelak Lee Kok Chian akan menjadi raja karet yang termasyhur.

Dianggap Membawa Rezeki

Kami merayakan tahun baru Imlek di Amoy, kemudian ayah saya genap berdinas 30 tahun pada pemerintah Hindia Belanda dan peristiwa itu akan dirayakan besar-besaran. Ketika itu ibu saya baru melahirkan seorang anak laki laki lagi, Lee Liong. Artinya adik saya ini lebih muda daripada putera saya.

Tidak lama setelah itu ayah menandatangani kontrak pendirian Batavia Bank di Batavia dengan Majoor der Chinezen Khouw Kim An dan Kapitein Lie Tjian Tjoen serta beberapa orang lain. Dari 600 saham, ayah memegang 200 di antaranya. Suami saya dijadikan manajer Deli Bank di Medan dan kami mendapat rumah di daerah elite di Medan. Di rumah baru ini kami bisa berbuat sekehendak hati karena lepas dari pengawasan ibu.

Ketika kami pergi ke Amoy untuk merayakan tahun baru Imlek, suami saya membawa hadiah kerongsang (bros bertatah intan) untuk ibunya. Ibu mertua saya sangat senang. Suami saya kini dipandang tinggi, sebagai seorang yang sudah berpenghasilan. Orang-orang yang dulu menganggap saya barbar, kini berpendapat bahwa saya isteri pembawa rezeki. Walaupun demikian, kami tetap tidak boleh membawa Tong ke Medan.

Bulan November tahun 1919 itu, ibu melahirkan anak ketujuh. Seorang anak laki-laki lagi, Tseong Liong, yang biasa kami panggil adek.

Bank Baru Pembawa Petaka

Atas saran beberapa orang, suami saya mendirikan bank baru, Kong Siong Bank. Saya menganggap tindakan ini tidak sehat, sebab bank baru ini bisa saja mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Deli Bank milik ayah, tempat ia menjadi manajer pelaksana.

“Tidak, kedua bank ini akan bekerja sama.” dalih suami saya. Katanya, ia mempunyai orang kepercayaan untuk mengelolanya. Ternyata Kong Siong Bank merosot dari hari ke hari dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Bukan cuma keluarga kami yang menghadapi masalah-masalah dengan generasi mudanya. Putra sulung paman Yong Hian, memang menjadi konsul Republik Cina di Medan, tetapi adik-adiknya yang laki-laki seperti Kung We, Kung Lip dan Kung Tat sering membuat heboh dengan cara hidup mereka yang berlebihan.

Isteri mereka saling bersaing dalam perhiasan dan pakaian. Sementara mobil-mobil mewah mereka yang selalu baru, memamerkan diri sepanjang jalan-jalan kota Medan. Ayah risau dan bahkan sempat sakit karena para kemenakannya ini ada yang mengalami ketekoran dana di Deli Bank.

Selain itu mereka membuat orang iri dan menimbulkan celaan serta pergunjingan. Para orang kaya baru ini betul-betul tidak menghormati jerih payah orang tuanya dalam mencari uang dan tidak menghargai warisan.

Bibi Hsi, ibu mereka yang terbiasa tinggal di desa di daratan Cina, sebaliknya hidup hemat dan sederhana sekali di Medan. Ia tidak pernah iri pada kemewahan orang lain, sehingga luput dari celaan.

Kaum muda ini rupanya tidak menginsafi dampak PD I di Eropa terhadap ekonomi dunia. Pada masa itu juga para penjudi profesional dari Penang memperkenalkan judi pei-bin di Medan. Banyak orang tergila-gila pada judi dengan akibat usaha mereka rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.

Ayah Merasa Sudah Tua

Tahun 1920 yang penuh gejolak itu, ayah dan ibu merayakan pernikahan perak mereka. Ayah tidak mau orang-orang menghamburkan uang untuk hadiah baginya, sehingga perayaan hanya diadakan di antara keluarga. Walaupun sederhana, semua orang gembira. Saya terkenang kembali masa saya masih kecil.

Ayah merasa ia sudah tua. Ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama ibu yang diharapkan akan memberikan penghasilan yang cukup bagi ibu di masa yang akan datang. Walaupun ibu galak, ia tidak serakah. Ia menolak hadiah ini, seperti ia menolak membeli perhiasan seperti yang dipakai isteri rekan-rekan ayah dari Jawa.

Ayah memberi sepuluh ruko untuk saya, yang memberi penghasilan hampir seribu gulden sebulan. Dua diantaranya dipakai untuk Kong Siong Bank.

Suatu sore awal tahun 1921, ayah memberi tahu ia sudah menerima cetak biru kapal 6000 ton yang dipesannya dari Jepang. Kapal ini bisa dipakai mengangkut penumpang maupun barang. Rencananya ia akan membawa kami ke Eropa dalam perjalanan perdana dan untuk keperluan itu ia sudah belajar berbahasa Inggris.

Hari itu kami berpisah pukul 22.00. Malamnya tiba-tiba saya dibangunkan pesuruh ayah saya. “Non, dipanggil Nyonya besar. Tuan besar tidak enak badan.” kata Amat. Saya gemetar dan segera ikut ke rumah ayah saya. Ayah saya terengah-engah di ranjang. Dr. Van Hengel yang memeriksanya berkata, “Anda tidak apa apa Majoor, cuma terlalu keras bekerja.” Ia meminta ayah untuk beristirahat dan memang ayah tenang kembali.

Keesokan harinya ibu menyuruh saya pergi ke Pangkalan Brandan, untuk berdoa di makam kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Tahu-tahu saya disusul ke sana dan diminta segera kembali ke Medan. Saya sangat risau sebab merasa keadaan ayah memburuk. Tiba di depan rumah, saya sudah melihat kesibukan yang tidak biasanya. Jambul (Kian Liong) berlari menyongsong saya. “Ayah meninggal.” katanya.

Saya bengong memandang Jambul tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Seseorang membimbing saya masuk ke ruang besar tempat pemujaan arwah nenek moyang. Ayah berbaring mengenakan jubah panjang biru dan jas pendek hitam. Matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya terbuka sedikit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara yang keluar.

Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan menangis. “Bawa dia pergi.” seru seseorang. “Jangan biarkan air mata menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia fana ini.” Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang berkata, “Dia anak kesayangannya.”

Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.

(Catatan Redaksi: Menurut sumber-sumber lain, diantaranya Leo Suryadinata dalam Prominent Chinese Indonesia, Tjong A Fie bunuh diri akibat resesi, perusahaan-perusahaannya mundur dan ia tidak bisa membayar cek sebesar 300.000 gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank. Ketika berita itu tersebar, nasabah Deli Bank berlomba-lomba menarik simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa melihat kenyataan ini, sehingga ia mengakhiri hidupnya sendiri.)

Pembagian Warisan

Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah menunjuk isterinya sebagai satu-satunya executive testamentaire dan wali bagi anak-anaknya yang masih di bawah umur.

Semua harta peninggalannya, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan, dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia meninggal, di Medan dan di SungKow.

Keturunannya yang pria menjadi ahli waris yang sah dari yayasan itu, yang tidak bisa dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka akan menerima persentase dari hasil yayasan itu selama hidup. Selain itu ada persentase untuk mengurus rumah keluarga dan untuk amal.

Mereka masing-masing akan menerima 150.000 gulden pada saat menikah. Jika salah seorang ahli waris menjadi invalid karena sakit, cacat sejak lahir, atau mengalami gangguan jiwa, yayasan akan menyokongnya selama hidup.

Orang-orang berdatangan dari tempat-tempat jauh seperti Jawa untuk menunjukkan rasa hormat kepada ayah. Sementara itu para pengemis berbaris di jalan, menunggu makanan dibagikan setiap kali suatu upacara selesai dijalankan.

Enam Puluh Tahun Terakhir

Enam puluh tahun telah lewat.
Saat itu keluarga Kwet Liong, Lee Liong dan Tseong Liong serta saya sendiri masih tinggal di rumah besar yang didirikan ayah.
Umur saya sekarang (ketika buku ini ditulis 1981, Red) 84 tahun. Bagaimana caranya menceritakan peristiwa-peristiwa selama kurun waktu 60 tahun dalam sebuah bab yang pendek?


Suami saya tidak berbakat menjadi pengusaha seperti yang diinginkannya. Tahun 1926 ketika kami pulang ke Amoy, kedua mertua saya dalam keadaan tidak sehat sehingga dianjurkan berobat ke Swiss. Ayah mertua saya beserta sejumlah pengiringnya dan kami berangkat tanpa ibu mertua saya. Ia diharapkan menyusul setahun kemudian, tetapi keburu meninggal.

Enam tahun lamanya kami tinggal di Eropa. Saya mendapat kesempatan belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sebagai satu-satunya orang yang memahami sejumlah bahasa Eropa modern dalam rombongan kami, saya bertindak sebagai penerjemah.

Tahun 1931 kami kembali ke Cina. Selama tiga tahun berikutnya saya menjadi Liaison Offiser menteri luar negeri di Nanking. Di sini saya bertemu dengan Prof. Duivendak, seorang sinolog Belanda yang merasa senang bisa bercakap-cakap dalam bahasanya dengan saya di tempat asing.

Kemudian saya diminta ibu menjadi manajer pelaksana perusahaan kereta api yang didirikan ayah bersama Paman Yong Hian di Swatow. Ketika pecah perang, pemerintah mengharuskan jaringan kereta api dibongkar. Dalam perang itu suami saya dan teman-temannya pergi ke Manchuria sedangkan saya mengungsi ke Hongkong lalu Medan.

Saya tidak pernah melihat suami saya lagi. Ia meninggal di Manchuria karena kanker paru-paru. Saya bahkan tidak bisa menghadiri pemakamannya.

(Catatan Redaksi: Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny, suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa ke Cina tahun 1931. Setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa. Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong berada di Eropa dengan Ny. Tjong A Fie.)

Dalam PD II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan armada bus di sana.

Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.

Selama dua puluh tahun sesudah itu, saya bepergian ke seluruh Indonesia. Kadang-kadang saya menjenguk keluarga mertua saya di Taiwan. Putra saya Tong menjadi warga negara Singapura. Tahun 1970 ia meninggal akibat kanker mulut.

(Menurut Queeny Chang kepada Myra Sidharta, ia memiliki lima cucu dan beberapa buyut. Ia berhubungan baik dengan anak-anak tirinya, terutama dengan anak tiri yang beribu Jepang, yang kini menjadi pelukis terkemuka di Taipei.)

Ibu berumur panjang. Ketika ibu meninggal tahun 1972, umurnya 93 tahun. Adik saya, Sze Yin (Nonie), bersama janda Lee Liong dan saya merawatnya sampai ibu dijemput ajal. Betapa terharunya kami ketika masyarakat Medan ternyata menaruh banyak perhatian pada pemakamannya.

Tahun 1974 saya berkunjung ke Eropa lagi dan kenang-kenangan lama kembali lagi pada saat saya melihat tempat-tempat yang saya kenal baik. Sekarang, selain tinggal di Medan, saya melewatkan sebagian besar waktu saya di Brastagi, di sebuah tempat peristirahatan milik Lee Rubber (perusahaan milik Raja Karet Lee Kong Chian – Red).

Desember 1976 saya terbang dari Jakarta ke Penang untuk menghadiri ulang tahun ke 70 Kian Liong. Ia mengajak saya dan sanak keluarga kami berziarah ke Kek Lok Si, sebuah kuil Buddha di Ayer Itam. Kami menyampaikan persembahan pada ayah kami yang patungnya ada di sana bersama patung para penyumbang pertama pendirian kuil itu di akhir abad XIX lalu.

Alangkah terharunya saya mengetahui orang tua kami masih diingat dengan rasa hormat. Ziarah itu menggugah saya untuk menulis buku ini, sebagai peringatan akan ayah saya yang memberi saya masa-masa paling bahagia dalam hidup saya.

Seperti kata penyair word sworth:
“Walaupun tidak ada yang bisa mengembalikan kemegahan rerumputan dan semarak bunga-bungaan. Kami tidak akan bersedih hati melainkan akan menemukan kekuatan dari yang tertinggal.”

(Memories of a Nonya, Eastern Universities Press. Sdn. Bhd.)

Catatan Redaksi: Setelah tulisan ini dimuat dalam Majalah Intisari Mei 1982 (ketika itu Queeny Chang masih hidup), seorang pembaca bernama Amir Hamzah, mantan Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, menanggapinya demikian:

Pikulan Tidak Dilupakan Walaupun Sudah Kaya Raya

Pada masa kanak-kanak, saya tinggal di Medan, di daerah yang bernama Gudang Es. Tempat itu tidak jauh dari Istana Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al Rasjid Perkasa Alamsjah.

Di tempat itu ada Gang Mantri yang dihuni ayah Sutan Sjahrir yaitu Mangkuto Sutan, Hoffd Djaksa Gubernemen di Medan. Gang Mantri adalah tempat tinggal orang-orang berpangkat tinggi masa itu.

Selain itu, tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Tjong A Fie, hartawan dan sosiawan. Di antara sekian banyak orang yang dibantunya mendirikan surau, ternyata seorang ulama besar dari Bukit tinggi, Sjekh Mohamad Djamil Djambek dan paman saya yang mendirikan surau bertingkat di Matur, Bukittinggi.

Tjong A Fie mempunyai cara menolong orang-orang yang akan pindah. Biasanya mereka melelang perabot rumah tangganya. Tjong A Fie akan menyuruh anak buahnya membeli perabot satu ruang penuh dengan harga mahal sekali. Sesudah dibayar perabot itu ditinggalkan begitu saja sehingga bisa dilelang sekali lagi.

Pada suatu hari di tahun 1921, ketika saya berumur 6 tahun, teman-teman sepermainan berteriak-teriak: “Tjong A Fie mati! Tjong A Fie mati!”

Kami segera pergi ke rumah Tjong A Fie yang besar itu di Kesawan. Di muka rumah kami lihat bendera pelbagai ragam dan kertas-kertas perak bertaburan, sementara beratus-ratus orang datang.

Di muka rumah Tjong A Fie itu, kalau tidak salah pada sebuah toko, terpampang lukisannya dalam ukuran besar sekali. Kami melihat berpuluh-puluh orang Cina miskin berjongkok di seberang rumah sosiawan itu, menantikan sedekah.

Kami anak-anak kecil menerobos saja masuk. Kalau saya tidak salah ingat, dekat peti jenazah ditaruh sebuah pikulan dagang. Konon itu pikulan yang dipakainya menjajakan barang ke sana kemari sebelum ia kaya raya.

Ketika sampai 1953, saya menjadi Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, saya bergaul dengan keluarga Tjong A Fie. Salah seorang diantaranya biasa disebut Zus A Foek. Ia sangat fasih berbahasa Hakka, Hokkian, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis maupun Indonesia. Ia tidak lain daripada Queeny Chang penulis buku “Memories of a Nonya”.

Suatu hari, ketika kami diundang ke rumah mereka, di sana kami mendengarkan dr. Djulham dari Binjai memainkan biola. Putri dr. Djulham adalah Trisuri Juliati Kamal yang sekarang menjadi pemain piano terkenal dan tinggal di Jakarta. Itulah kenang-kenangan yang saya peroleh dengan keluarga Tjong A Fie.

8 comments:

l3l1 said...

lom sempet baca, tapi tadi baru ngeprint yg oei tiong ham itu buat mertua gue. dia demen banget siy baca biografi gitu... ntar yg ini mau ngeprint buat dia juga. thanks ya... sering2 aja post yg ginian hehehe jadi gue ngak susah2 nyarinya... *itung2 sogokan buat mertua hahaha*

Anonymous said...

panjang sekaliiiiiiii... jadi baca separuh-separuh dulu..ntar disambung lagi :D

Pucca said...

@leli: yang oei tiong ham itu emang bagus ceritanya lel, yang ini kurang gitu dramatis, tp bolehlah..itung2 tau sejarah orang cina2 kaya hehe :P

@elmo: emang panjang elmo, bacanya kalo ada waktu luang ajah :)

Anonymous said...

gua blon baca viol, takut puyeng2 lagi hahaha, nti aja bacanya kalo pas lagi nyante2 dah..

oiya, cerita ini nih elu tulis dengan versi lu sendiri, atau lu copi sih?

Pucca said...

@nat: iya nat, bacanya pas sante2 aja, jangan diforsir :)
ini gua copy kok..gua cuma benerin kalo ada salah ketik.

Anonymous said...

oh...ada yg tahu
sekarang ini mana sih...cucu....cicinya Tjong A Fia??

thx

Pucca said...

hmm..maaf..saya tidak tahu :)

Mindi Vedaa said...

lom sempet baca, tapi tadi baru ngeprint yg oei tiong ham itu buat mertua gue. dia demen banget siy baca biografi gitu... ntar yg ini mau ngeprint buat dia juga. thanks ya... sering2 aja post yg ginian hehehe jadi gue ngak susah2 nyarinya... *itung2 sogokan buat mertua hahaha*