Cerita yang sangat menyentuh dan sangat menginspirasi. Memang sangat panjang untuk diposting di blog, tapi gua begitu sayang menyimpan cerita ini sendiri. Penulisnya punya tujuan yang sangat mulia, yaitu dengan menuliskan pengalamannya sendiri, ia ingin mengetuk hati ibu2 yang sedang menghadapi dilema karena bayinya divonis cacat.
Semoga tulisan ini berguna dan mampu menyentuh hati kita semua.
Kehidupan itu indah. Dan hidup dengan iman juga indah adanya.
In Memoriam
Ancillo Dominic
Malaikat kecil yg menanti orang tuanya di pintu surga.
Lahir dan meninggal : 17 April 2008, 14.30 di Rs Family Pluit
Misa : 18 April 2008, 11.00 di Rd Atmajaya, Rm. John Lefteuw Msc.
Kremasi : 18 April 2008, 13.00 di Nirvana
Cerita ini ditulis untuk :
- Orang tua yang ingin menggugurkan bayinya karena cacat
- Vincent (6 thn) dan Francis (4 thn), yang belum mengerti kenapa adiknya dipanggil Tuhan begitu cepat
- Jc, suami yang penuh cinta menemani dalam suka dan duka
- Dr. Tjien Ronny, SpOG, many thanks
Bayi Yang Dinantikan
Setelah Vincent berumur 5,5 tahun dan Francis berumur 3,5 tahun, saya merindukan seorang baby lagi. Perlu waktu setahun sampai akhirnya Jc setuju dengan keputusan saya untuk hamil lagi. Dia selalu menunda memberikan jawaban, alasannya menunggu tahun tikus, biar shionya sama seperti dia.
Sebenarnya, ketakutannya adalah saat melahirkan Francis, saya sempat pendarahan hingga tak sadarkan diri dan perlu waktu dua bulan lebih untuk pulih. Saat itu tidak ada satu dokterpun baik dokter pengganti melahirkan maupun dokter merawat yang menjelaskan penyebabnya.
Jc meminta saya untuk memberikan alasan yang meyakinkannya kenapa harus punya anak tiga, kenapa dua anak tidak cukup.
Setahun saya mencari jawabannya, tapi tidak ketemu, mungkin karena saya dan Jc sama-sama anak ketiga. Alasan lain, dua anak yang lucu dan nakal, kalau tambah satu lagi rasanya tidak masalah. Membesarkan dua anak atau tiga anak sama saja. Akhirnya Jc menyerah karena saya begitu menginginkan seorang baby.
Kami pun pergi ke Dr. Yani Toehgiono, dokter langganan keluarga kami, untuk cek pra-kehamilan. Sebelumnya saya sudah minum asam folat selama setahun untuk mencegah bayi DS.
Setelah cek darah dan bersih dari segala virus TORCH, kami meminta dokter untuk sekalian program baby girl. Sebenarnya saya lebih suka baby boy karena sudah terbiasa, tapi sekeliling saya ribut untuk satu lagi harus girl.
Ternyata untuk baby girl harus melewati beberapa kali pemeriksaan dalam untuk memastikan kematangan telur dan saat yg tepat. Kami tidak mau karena kalau terlalu banyak aturan nanti malah susah hamil.
Bulan pertama gagal karena tidak ada telur yang bagus, banyak telur tapi kecil-kecil. Dokter menyarankan untuk skip telur bulan ini. “Nggak buru-buru, kan? Kita coba lagi bulan depan.”
Dokter meresepkan Provula agar bertelur kemudian dokter menjadwalkan kapan harus kontrol lagi untuk melihat kematangan telur disamping itu kami diminta untuk mengisi grafik harian suhu tubuh.
5 s/d 10 Minggu
Kami tidak balik ke dokter sampai bulan depannya test-pack positif. Saya sangat gembira karena ini merupakan hadiah ulang tahun terindah untuk saya.
Ketika kami kontrol, dokter langsung bertanya, “Kemarin ‘bikin’nya pakai cuka nggak?”
“Nggak,” jawab saya heran.
“Kemarin saya jadwalin datang hari ke sepuluh, kenapa nggak datang?” tanyanya lagi.
Saya cuma senyum, takut dokter marah kalau saya memberi jawaban malas.
“Kalau lihat dari grafik, kemungkinan besar udah hamil,” kata dokter sambil senyum-senyum. “Cowok lagi nih, bikinnya pas hari subur sih.”
“Apa aja deh, Dok. Yang penting sehat. Bisa hamil aja udah syukur.”
Ketika di USG sudah terlihat satu bintik hitam, tapi kantong kehamilannya belum kelihatan.
“Dok, kira-kira bisa kembar nggak? Kalau kembar, repot juga,” kata saya.
“Belum kelihatan,” jawab dokter. “Kembar juga apa-apa, biar satu orang jaga satu, adil.” Dokter tertawa.
Dokter lalu menasehati untuk hati-hati menjaga baby. Dokter belum meresepkan obat penguat, hanya asam folat. Untuk memastikan kehamilan, kami diminta kembali ke dokter seminggu kemudian. Ketika berumur 6 minggu, baby sudah terlihat lebih besar di monitor tapi belum terdengar suara jantungnya.
Umur 8 minggu, jantung baby sudah terdengar seperti baling-baling pesawat, di monitor sudah terlihat detak yang stabil. Umur 10 minggu, baby sudah kelihatan bergerak-gerak, tangan dan kaki sudah terlihat, masih berbentuk kecil, ukurannya masih 2.5 cm.
Lega rasanya ketika dipastikan hamil, walaupun harus melewati mual di pagi dan sore hari, di luar jam kantor. Benar-benar anak yang mengerti orang tuanya.
12 Minggu
Kami memutuskan untuk pindah ke Dr. Tjien Ronny. Kebetulan Rs. Family hanya lima menit dari rumah dan dokternya terkenal bagus. Julukannya di kantor ‘dokter sejuta umat’. Sebagian besar teman di kantor konsultasi dengan dia dan semuanya bilang oke banget.
Sebelum bertemu dokter, di luar suster mengisi catatan medik dan data-data kehamilan sebelumnya, sempat berpesan kalau kontrol dengan dokter ini musti sabar, soalnya dokter periksanya lama dan teliti. Kesan pada pertemuaan pertama, dokternya sangat simpatik, muda, ganteng, mau mendengarkan, tidak buru-buru dan vitaminnya tidak aneh-aneh.
Saat itu dokter mengecek tengkuk leher baby untuk memastikan tidak ada penebalan cairan, semuanya bagus, tidak DS. Dokter dengan teliti memperlihatkan tangan dan kaki baby yang semuanya sudah proporsional. Saya senang sekali, setelah menunggu beberapa minggu, sekarang bisa melihat cukup lama baby yang mengagumkan di monitor. Tangannya seakan melambai-lambai dan kaki-kaki kecilnya belajar menendang. Panjangnya sudah 6 cm. Dokter juga sangat sabar menjawab pertanyaan kami.
Saking kinclongnya dokter, Jc berkata ke saya, “Pasti deh si dokter minum vitamin yang jutaan, kalau nggak gimana bisa segar gitu.”
Jc langsung setuju untuk seterusnya pakai Dr Ronny walaupun hari Sabtu harus menaruh buku dari jam 6 pagi dan mengantri cukup lama, toh cuma sebulan sekali.
Saya sempat bertanya ke suster di luar, hari apa yang pasiennya lebih sepi. Kata suster, tiap hari ramai sampai tengah malem. Lalu saya diajarkan untuk menaruh buku dulu, tensi dan telpon ke extention untuk menanyakan nomernya sudah dekat belum. Suster menambahkan, dokter apa-apa sendiri, jahit caesar pun dilakukan sendiri, tidak pakai asisten.
Saat teman saya melahirkan, dia pernah menghitung, dari 35 baby yang lahir, 15 diantaranya lahir di tangan dokter. Dokter punya begitu banyak waktu dan perhatian untuk pasiennya, apa masih punya waktu untuk keluarganya. Entahlah.
17 Minggu
Dokter riang sekali pagi itu, menyalami kami lalu bernyanyi-nyanyi menuju alat USG. Kemudian mulai USG dengan serius dan menerangkan bagian-bagian tubuh baby di monitor. Kali ini dokter periksa lama sekali dan sesaat dokter terdiam.
Akhirnya dengan suara berat dokter berkata, “lni keliatannya…… ada yang nggak bagus, Yenny….. Ini kepalanya, … ada kelainan. Tidak ada batok kepalanya.… Saya anjurkan untuk biarkan dia hidup, Yenny. Ini sudah pasti cacat.”
“Kok bisa?” tanya saya. Kata-kata dokter bagaikan petir di siang bolong.
“Bayi lu nggak ada tempurung dan otaknya. Istilahnya Anencephaly atau anencephalus. Lu ada minum asam folat nggak?”
“Ada, malah dari setahun sebelum hamil.”
“Sampai sekarang, memang diduga karena kekurangan asam folat, tapi kalo lu udah minum, berarti yang lain. Dia cacat, mungkin meninggal di dalam, kita nggak tahu kapan, baru kita keluarin dia. Bisa juga hidup sampai waktunya dilahirkan, kita lahirkan dia.”
Air mata saya langsung berderai. Kenapa baby saya? Baby ini saya minta lewat misa novena sembilan hari, kenapa Tuhan beri baby seperti ini?
Jc terpaku. Tangannya yang sedang menvideokan monitor USG dengan Hp untuk memperlihatkan ke anak-anak, langsung dimatikan. Jc berdiri mematung di samping dokter. Mukanya langsung pucat.
Dokter masih di depan monitor, dia menunjukkan kepala baby hanya sampai batas alis. Tubuh lainnya sempurna, baby sudah punya tangan kaki yang lengkap, tidak berhenti meninju dan menendang, semua jari sudah lengkap, jenis kelamin laki-laki, sum-sum tulang belakang berjejer rapi, tapi sampai pangkal leher, tempurung kepalanya hanya separuh, separuh diatas tidak ada. Kepalanya terbuka. Penyebabnya bukan virus atau genetik, tapi karena satu sel tidak menutup, kebetulan sel otak, sehingga otaknya terbuka. Kejadiannya saat hamil tiga-empat minggu. Sekitar satu minggu setelah pembuahan. Sebelum diketahui hamil.
Dokter menerangkan satu persatu kepada kami. Tidak adanya otak tidak memungkinkan baby untuk hidup karena otak adalah koordinator dari jantung, paru-paru. Mungkin hidup.., tapi paling lama sehari. Biasanya langsung meninggal saat lahir. Baby juga akan terlambat lahir karena kepalanya tidak ada tempurung untuk menekan jalan lahir dan baby tidak produksi hormon di otaknya untuk perintahkan kontraksi ke ibu.
“Roh itu kekal,” kata dokter menguatkan kami. “Biarkan dia hidup,” pintanya, “ini Tuhan punya mau. Badan kita akan mati, tapi roh tidak pernah mati, dia hidup selamanya.”
Saya menggeleng-gelengkan kepala, saya tidak percaya baby cacat. Saya menangis terus.
“Kita pelihara dia sampai Tuhan sendiri panggil dia,” lanjut dokter. “Kita nggak berhak membunuh dia, secacat apapun dia, kita pelihara dia. Toh dia tidak menyakiti ibunya, dia tidak minta biaya, dia tidak susahin ibunya, dia juga nggak akan hidup lama. Dia hanya minta dilahirkan….Tabah ya, Yenny, ini Tuhan punya rencana.”
Saya tidak bisa menjawab hanya menatap dokter kosong. Jc di sisi saya langsung merangkul bahu saya. Wajahnya penuh air mata.
“Saya bisa bicara begini, karena saya pernah alami yang sama,” kata dokter. “Anak saya waktu umur enam bulan divonis mati, kena leukemia. Dia tidak mungkin hidup karena kena leukemia yang paling ganas dan paling jarang di dunia. Saya cari dokter di mana-mana, ke Amerika, Belanda, Inggris, semuanya suruh saya bawa pulang lagi anak ini, karena dia tidak mungkin tertolong. Sampai akhirnya Hongkong mau coba kemo dia, dengan catatan akan meninggal juga pada akhirnya. Dokter sana bilang sudah tidak ada harapan lagi. Tapi saya bilang, coba, coba aja kemo dia, saya sudah rela kalau dia harus meninggal. Saya sempat marah ama Tuhan, kenapa Tuhan, saya sudah tolong orang, saya tidak berbuat jahat, kenapa Tuhan beri anak seperti ini? Seorang biarawati sampai nangis saya omelin. Saya bernazar ama Tuhan, kalau anak ini sembuh, saya akan bekerja untuk Tuhan, saya serahkan anak ini untuk Tuhan pakai, saya akan bawakan kesaksian, saya akan bangun rumah untuk Tuhan. Setahun lamanya dikemo, akhirnya anak saya sembuh. Sekarang sudah delapan tahun..”
Dokter menceritakan sambil menahan dirinya untuk tidak ikut menangis, menggigit bibirnya, air matanya penuh di pelupuk mata, hidungnya merah.
“Jadi..,” suaranya parau, “jangan bunuh dia, Yenny… biarkan dia hidup, pelihara dia baik-baik.”
Kami berdua masih belum percaya dengan kenyataan pahit ini.
Lama kami semua terdiam. Mengapa semua ini terjadi?
“Saya serahkan pada kalian..,” suara dokter nyaris tak terdengar, matanya menatap kami dalam-dalam, “kalau memang kalian nggak mau dia.., saya nggak bisa apa-apa, ini anak kalian..”
Kami tidak berkata apa-apa, pikiran semakin kosong.
“Saya akan rujukkan ke dokter lain…,” kata dokter dengan suara sangat berat, “yang mau keluarkan dia..”
Dokter terdiam lama, menatap kami berdua dan menunggu jawaban.
”Saya sendiri minta maaf, saya nggak mau lakuin..,” katanya dengan suara tercekat. “Dulu saya pernah keluarkan baby cacat, waktu itu saya belum mengenal Tuhan. Tapi kemudian Tuhan sendiri yang tegur saya, dia marah saya, Ronny, kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu bunuh dia? Kenapa kamu buat hal yang paling Saya benci? Secacat apapun dia, kamu nggak berhak untuk ambil nyawanya ….”
Dokter mengambil napas dalam-dalam. “Saat saya melakukan aborsi, saya dikejar perasaan bersalah dan nggak akan bisa lupa selamanya, bayangan bayi saat dikeluarkan masih menggelepar-lepar,” dokter memejamkan matanya rapat-rapat seakan hendak membuang jauh-jauh bayangan gelap yang selalu menghantuinya. “Buat apa saya yang aborsi, kalau masih ada orang lain yang mau melakukannya..”
“Jangan diaborsi..,” potong saya. Hanya itu yang dapat saya katakan. Biarpun baby akan cacat, akan mati, tapi jangan dibunuh, saya sangat mencintai dia. Saya sudah bisa merasakan keberadaaannya, tendangannya sudah mulai terasa sesekali. Biarkan dia hidup.
“Kalau dilahirkan sekarang atau nanti…, mana yang lebih berbahaya Dok, saya takut istri saya pendarahan lagi,” tanya Jc.
“Pendarahan atau tidak, sulit dipastikan. Mungkin aja saat aborsi terjadi pendarahan, mungkin juga tidak. Dan belum tentu juga nanti melahirkan terjadi pendarahan. Nggak ada yang bisa jamin. Gua tidak tahu gimana dulu bisa terjadi pendarahan, dokter lu ada kasih penjelasan?” tanya dokter.
Saya menggeleng. “Enam jam setelah melahirkan.”
“Mungkin karena kontraksi balik rahim lu nggak bagus sehabis melahirkan. Jadi, gua saranin kali ini lu nggak boleh caesar, nggak boleh pakai epidural, kita coba lahirin normal. Caesar atau epidural itu kan bius, nanti bikin rahim lu kontraksinya makin lemah, bisa bikin lu pendarahan. Lu kan udah punya riwayat pendarahan, kita coba hindari. Nanti sambil jalan kita lihat.”
Lahir normal? Saya tercekat. Dua kali saya keenakan memakai epidural saat melahirkan, tidak terbayang kalau kali ini harus melahirkan normal. Saya pernah bilang ke Jc kalau tidak ada epidural, saya tidak mau punya anak lagi. Kali ini saya tidak punya pilihan…
“Dok, perlu USG 4D nggak?” tanya saya sambil menangis.
“Nggak perlu,” jawab dokter. “Karena ini sudah jelas sekali anencephaly. Lu nggak perlu buang-buang duit. Tapi kalo lu diganti kantor atau asuransi atau lu mau second opinion, silahkan, gua buatin pengantar ke Dr. Calvin. Nanti lu cek ya di depan kapan dia praktek.”
Kemudian dokter menuliskan surat pengantar untuk ke Dr. Calvin.
Mata dokter masih berkaca kaca. Dokter menghapus sedikit air mata di ujung matanya agar tidak mengalir turun.
“Buat gua berat sekali untuk kasih tahu pasien kalau babynya cacat, apalagi kalau tidak ada harapan hidup... Tapi paling berat kalau babynya cacat spina bifida.. ”
Dokter memberikan tissue kepada saya. “Tabah ya, Yenny,” katanya perlahan. “Ini Tuhan punya rencana. Lu kontrol dua-tiga bulan aja, nggak perlu antri berjam-jam, kapan lu sempat, lu kontrol. Gua cuma resepin tambah darah dan kalsium buat lu punya tulang.”
Lalu dokter salaman dan menepuk-nepuk punggung Jc, “Tabah ya, kita tetap pelihara dia baik-baik. Saya hargai keputusan kalian untuk nggak bunuh dia.”
Saya tidak dapat berkata-kata lagi, air mata tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan, kenapa kasih baby seperti ini? Kau bisa buat jantungnya berdetak sempurna, Kau beri rusuk dan sum-sum yang tersusun rapi, kenapa tidak sekalian Kau beri otak dan tempurungnya?
Jc hanya terdiam. Dia sama shocknya. Dia hanya bisa mengelus kepala saya, matanya berlinang dan menangis diam-diam. Tubuhnya bergetar. Saat menyetir pulang, baru terdengar suaranya, “kita kena juga ya…, kirain cuma kena ke orang lain...”
Kami pulang penuh duka. Anak anak menyambut kami dengan gembira. Mereka sudah diberitahu kalau akan punya adik baby. Ketika anak-anak tidur siang, kami searching di internet mengenai anencephaly. Sama seperti yang dijelaskan dokter, kekurangan asam folat diduga sebagai salah satu penyebabnya. Lalu kami menngecek nama baby di internet : Ancillo Dominic. Yang ada hanya Ancilla Domini, nama perempuan, artinya Hamba Tuhan, nama kecil bunda Maria.
Kami telah menyiapkan dua nama laki laki. Anak-anak lebih menyukai adiknya bernama Ancillo Dominic daripada Dominic Xavio, santo temannya Don Bosco. Di internet tidak banyak yang bernama Ancillo. Hari itu kami putusan baby bernama Ancillo.
Hari pertama rasanya panjang, air mata tidak bisa berhenti, untunglah ada anak-anak sehingga saya tidak berani menangis di hadapan mereka yang belum mengerti. Setiap malam sebelum tidur, kedua kakaknya meminta kepada papa Yesus dan mama Maria agar adik baby bisa lahir dengan sehat dan selamat. Hati saya sedih setiap kali mendengar doa anak-anak yang polos.
Hampir setiap subuh jam 3-4 saya terjaga, saya pindah ke kamar di lantai lain untuk menyendiri berdoa koronka, rosario, novena Hati Kudus Yesus, novena Tiga Salam Maria, bercakap-cakap dengan Tuhan, memohon kesembuhan baby. Biasanya saya berdoa sampai ketiduran dengan baju dan bantal basah dengan airmata. Jc sering membangunkan saya jam 6 pagi, katanya “Jangan sering sendirian, ya.”
Saya menceritakan hal ini ke adik dan kakak saya, tapi tidak ke mama saya, karena saya tahu dia pasti minta menggugurkan kandungan ini. Selain itu saya hanya cerita ke dua orang teman di kantor dan satu teman di kantor lain. Saya menjalani kehamilan di kantor dengan biasa-biasa saja, tidak pernah saya menangis di kantor. Saya tidak mau orang lain mengetahui, mengasihiani saya atau bertanya-tanya. Nanti, kalau saatnya saya sendiri sudah recovery, saya akan menceritakannya.
Tiga hari kemudian kami menemui Dr. Calvin Cong. Suster dokter ini sempat menolak karena umur kandungan saya tanggung, yaitu 17 minggu, biasanya screening di umur 11-13 minggu untuk cek DS, kemudian 20-24 minggu untuk mengecek jantung, kemudian di akhir kehamilan. Saya membohongi suster ini dan mengatakan bahwa Dr. Ronny yang minta, akhirnya Dr. Calvin mau.
Saya sangat menantikan pemeriksaan ini, saya sangat berharap ada dokter lain yang berkata bahwa diagnosa Dr. Ronny salah, bahwa baby sehat-sehat aja, bahwa USG 2D memang sering salah. Tapi hal ini tidak pernah menjadi kenyataan. Malam itu, sekitar jam 7 malam, kami menemui Dr. Calvin, tampangnya cool, saya sudah menyiapkan banyak pertanyaan, soalnya saya takut menangis sehingga tidak bisa bertanya.
Menurut dokter, penyebabnya bukan genetik, makanan, virus maupun asam folat. Di Indonesia berbeda dengan di German, jelas dokter yang german-minded, karena baru kembali dari sana, di German, wanita sejak remaja sudah minum asam folat dosis tinggi yaitu 4 mg, untuk mencegah DS. Sedangkan di Indonesia, dosisnya hanya sepersepuluh dari yang diminum orang German, dengan kandungan obat yang dipertanyakan. Obat di Indonesia, sebagian isinya sampah, tidak sesuai dosis. Bahkan di Singapura pun tidak menjual asam folat dosis tinggi.
Anencephaly pertama ditemukan di Skotlandia, banyak terjadi di Eropa, di Asia sangat jarang. Biasanya orang akan mengaborsinya, atau bila dibiarkan sampai lahir akan langsung menguburnya, jarang sekali diotopsi sehingga tidak banyak penelitian mengenai cacat ini.
Dokter memeriksa USG 4D di ruang gelap dengan layar besar terpampang seperti bioskop kecil, suara musik klasik mengalun perlahan di ruangan. Kami juga menceritakan riwayat pendarahan yang lalu. Dokter sedikit terkejut. Seharusnya saya tidak boleh hamil lagi apalagi kalau pendarahannya lebih dari 500cc. Seingat saya lebih dari itu, lebih banyak dari dua kantong darah untuk ukuran pria.
Dokter memulainya dengan jari tangan dan kaki baby. Semuanya sudah lengkap. Kedua ginjal tidak bagus, berkapur. Jantung bagus. Satu jam sendiri untuk mengecek jantung, untuk mengetahui bocor atau tidak. Saya sempat tidak sabar kenapa harus berlama-lama mengecek jantung, kalau nantinya baby tidak akan hidup. Saya ingin dokter segera mengecek kepalanya.
Dokter menjelaskan kalau jantung bocor besar bila didengar dengan stetoskop, alat yang sederhana, bunyinya hampir sama dengan jantung normal. Tapi kalau jantung bocor kecil malah terdengar, seperti suara mendesis. Biasanya dokter sulit menemukan jantung bocor besar sehingga berakibat fatal dan terlambat penanganannya.
Menurutnya, beberapa bayi yang lahir mati, biasanya disebabkan oleh jantung yang bocor. Tetapi dokter sini lebih suka bilang kelilit, karena lebih muda diterangkan ke orang awam. Padahal bayi belum bernapas dengan tenggorokan dan paru-paru, sehingga kelilit bukan alasan lahir mati.
Dokter pun menolak aborsi. Masih terbayang di matanya ketika bayi yang diaborsi meninggal di tangannya, karena tidak ada pilihan lain. Seorang wanita German, idiot, dihamili tidak jelas. Bayinya menderita cacat tulang, seluruh tulangnya rapuh tulang patah-patah di dalam. Bayinya sangat kesakitan. Si ibu tidak memungkinkan untuk memelihara bayi ini. Dokter German yang dikenal tidak beragama, walaupun mengakui Tuhan ada, tidak mau melakukan aborsi. Bagi yang menemukan kasus, dia sendiri yang harus membereskan. Akhirnya baby disuntik mati dengan alasan baby sangat kesakitan sekali dan hal ini dibenarkan secara medis.
Kepala baby bersembunyi di tulang panggul sehingga dokter musti mengelitiknya dan dengan sabar menunggu baby balik badan untuk mengecek kepalanya. Matanya lengkap, hidung dan bibirnya sudah terbentuk. Mukanya tidak sempurna, kata dokter mirip kodok. Kepalanya terbuka, otaknya ada, tapi makin lama makin mengecil karena cairannya terserap tubuh. Makanya, ketika USG di umur 12 minggu belum kelihatan, masih kelihatan normal.
Dokter memuji Dr. Ronny yang menurutnya teliti, dokter lain mungkin tidak akan menemukan ini di usia ini. Di luar negripun biasanya ditemukannya di usia 24 minggu, kalau USG 4D sudah bisa diketahui sejak 12 minggu.
Dokter mengingatkan untuk siap-siap ‘hamil gajah’ karena baby tidak bisa menelan air ketuban dan ginjalnya abnormal, sehingga cairan ketubannya akan banyak sekali. Hal ini justru bagus biar baby kesempitan di dalam dan lebih cepat lahir atau meninggal di dalam sebelum waktunya, diperkiraan sekitar umur 5 bulan.
Dokter menceritakan bahwa dia pernah menemani temannya seorang pendeta, anaknya menderita DS. Teman ini protes ke pdt. Stephen Tong, kenapa dia yang suka mendoakan orang, yang pendeta tapi diberi anak DS. Stephen Tong bilang, kalau semua manusia sempurna, manusia tidak ada sisi kemanusiaannya lagi. Kita nonton tv, kita kunjungan ke orang cacat, kita lihat…tapi tidak akan timbul rasa kasihan. Baru bisa merasakan bila kita benar-benar hidup bersamanya dan merawatnya. Dengan merasakan penderitaan baru kita bisa mengerti penderitaan orang lain.
Dokter mengingatkan bila aborsi masalah akan cepat beres, tapi ibu akan selamanya dikejar perasaan bersalah karena telah membunuh bayinya, hatinya tidak akan tenang, untuk itu harus hati-hati jangan sampai ibu depresi bahkan gila. Dokter meminta Jc untuk support penuh kepada saya karena saat ini adalah saat yang paling sulit dilewati.
Selesai kontrol dengan Dr Calvin, kami menunggu hasil di luar dan proses admin pembayaran. Tiba-tiba seorang suster menghampiri saya, katanya Dr. Ronny ingin bertemu sebentar. Saya sempat bingung, kan baru ketemu beberapa hari lalu.
Setelah menunggu satu pasien, suster memperbolehkan kami masuk. Di dalam, dokter sudah memegang satu copy surat rekomendasi dari Dr Calvin dan beberapa foto USG. Sama persis seperti yang ada di tangan saya. Mata dokter berkaca-kaca ketika dia mengamati foto baby, air matanya nyaris tumpah, hidungnya memerah. Satu tangannya memegang foto, satunya lagi menekap mulutnya rapat-rapat. Dokter belum bicara apa-apa tapi saya sudah menangis lagi, padahal selama satu setengah jam bersama Dr Calvin saya cukup kuat untuk tidak menangis dan dapat bertanya sebanyak-banyaknya.
“Yenny, saya ikut sedih..,” katanya pelan, menaruh tangannya di atas tangan saya, “tapi lu nggak usah takut.., baby nggak kesakitan apa-apa, tiap hari dia makan enak dari mamanya, dia merasa hangat, dia senang-senang aja di perut mamanya.”
Lalu dokter menatap Jc dalam-dalam, katanya, “Saya appriaciate, kalian mau lanjutin untuk hamil. Roh itu kekal, tidak akan mati. Di surga nanti, dia akan menemui orangtuanya untuk bilang terima kasih sudah pelihara dia dengan baik, sudah merasakan kasih sayang orang tuanya.” Kata-kata pendek tapi begitu menyentuh.
“Saya juga punya satu pasien,” lanjutnya, “babynya cacat jantung, parah banget, tidak mungkin untuk hidup. Dari awal dia minta saya dikeluarin, tapi saya bilang, jangan bunuh dia, pelihara dia sampai waktunya tiba. Akhirnya, waktu umur tujuh bulan, babynya meninggal di dalam. Ketika dilahirkan, ibu itu bilang kalau dia terlanjur sayang dengan anak ini, apalagi ketika anak ini sudah mulai tendang-tendang di perutnya, dia makin sayang ama anak ini. Ibu itu berterima kasih karena dia nggak jadi menggugurkan. Dia sangat-sangat sedih, tapi juga bersyukur karena masih sempat menggendong babynya sesaat setelah dilahirkan.”
“Kalau baby meninggal…,” kata saya diantara isak tangis, “biasanya disimpan dimana, Dok?”
“Biasanya langsung dibawa pulang keluarganya karena rumah sakit nggak bisa simpan lama, kita nggak punya alat seperti freezer.”
“Dok, dokter Calvin bilang saya akan hamil gajah, ginjal baby nggak bagus, mungkin hanya sampai lima bulan meninggal..”
“Mungkin.., mungkin juga nggak,” kata dokter. “Lu nggak usah pikirin gimana nanti. Kalau lu rasa baby nggak gerak-gerak lagi di perut, lu kontrol ya. Lu pasti bisa tahu kalau dia udah nggak ada. Kalau dia meninggal di dalam, nanti kita lahirkan dia. Lu udah betul, pelihara dia baik-baik, kalaupun dia meninggal nanti, lu nggak akan menyesal sudah pelihara dia, sudah sayang dia..”
Lalu dokter mengantar kami berdua sampai ke pintu ruangan. Dokter menepuk-nepuk punggung Jc dan berpesan, “yang kuat ya, dampingi dia terus.”
Dada saya sesak sekali, cobaan satu belum selesai sudah datang cobaan lain, bertubi-tubi. Air mata ini juga tidak bisa berhenti mengalir. Malam semakin larut, kami pulang tambah berduka, melewati hari-hari yang sangat berat, tidak ada harapan lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan.
Ancillo dikandung penuh dengan doa. Saat novena meminta baby, memang saya berkeinginan agar dapat lebih dekat dengan Tuhan. Saat hamil adalah saat saya penuh harap kepada Tuhan, begitu tak berdaya dihadapanNya.
Kadang hari Sabtu kami misa pagi, semua untuk kesembuhan baby. Dalam beberapa misa, kami persembahkan baby sebagai intensi misa. Kadang siang hari, jam tiga siang, kami mampir ke gereja, berdoa di depan tabernakel, doa koronka dan rosario, karena seperti ditulis di buku harian St. Faustina, Yesus senang bila ada yang mengenangNya di jam kematianNya, banyak permohonan dikabulkan bila kita memintanya di jam kematianNya, yang kita minta dalam sengsaraNya yang pedih.
Hari-hari bersama baby sangat menyenangkan, dia tumbuh seperti kakaknya dalam kandungan, malah dia sangat aktif dan suka menendang. Saya sempat bilang ke dokter, sepertinya baby tidak pernah tidur, dia seharian menendang-nendang. Tapi dokter malah jawab sambil menahan tawa, masa sih, baby juga tidur kok. Baby selalu terbangun saat doa subuh, setiap misa, seakan dia ikut berdoa.
Pada saat misa menjelang komuni, saat konsekrasi, saya selalu minta kesembuhan baby, dan saya selalu mengganti doa prajurit romawi menjadi ‘Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka Ancillo akan sembuh.’
Setelah menerima komuni, saya memohon, Yesus yang sudah datang ke dalam hatiku, Kau berada hanya beberapa senti dari baby, sembuhkanlah baby, temani dia selalu. Kakak saya menyarankan ke Rm. Yohanes, seorang teman menyarankan saya ke Rm. Rohadi, karena beberapa mujijat penyembuhan terjadi dan seorang teman lain menyarankan ke Pdt. Pariadji, karena ada mujijat bayi hidup padahal sudah divonis mati dalam kandungan dan bayi hidrocefalus disembuhkan. Saya sendiri ingin ke Rm. Somar karena saat mengandung Vincent umur lima minggu, romo mendoakan saya sehingga kista sebesar 10 cm hilang. Dr Yani sampai bingung saat itu. Semuanya begitu menggoda. Tapi Jc bilang, kita devosi aja, tidak perlu pergi ke satupun dari mereka. Yang menyembuhkan tetap Yesus, jadi minta ama Yesus, kalau tidak sembuh juga tidak apa-apa.
Saya sempat berkaul seperti dokter, barangkali Tuhan mau berbelas kasih. Kalau Ancillo sembuh, saya akan serahkan dia untuk Tuhan, saya akan dirikan panti asuhan, saya akan wartakan kemuliaan Tuhan. Tapi kemudian saya bertanya-tanya sendiri, bagaimana caranya mewartakan kemuliaan Tuhan? Apa Tuhan mau dengan diri saya yang percaya Tuhan hanya diomong saja, yang tidak sungguh-sungguh mengenalNya? Yang hanya mencari Tuhan untuk kesembuhan Ancillo. Setiap hari selama berbulan-bulan saya berdoa memohon mujijat.
Saya bertanya ke seorang teman yang banyak kenalan romo, kira-kira siapa yang enak diajak konsultasi. Tahunya romo juga banyak spesialisasinya, mengenai narkoba, perkawinan, penyakit, hukum gereja, dan lain-lain. Akhirnya teman saya memilihkan romo yang paling bisa diajak konsultasi, Rm. Rolly Untu Msc. dari gereja Kemakmuran. Waktu yang disediakan romo hanya setengah jam karena pagi itu romo sudah janji mau dijemput untuk memberikan perminyakan suci ke seorang ibu yang menderita sakit tua berumur 94 tahun. Saya hanya ingin bertanya mengenai upacara bila baby meninggal nanti dan bertanya mengenai donor organ apakah diperbolehkan gereja.
Tahunya romo belum pernah misa untuk baby meninggal, walaupun adiknya sendiri meninggal saat lahir, waktu itu dia masih kelas 6 SD. Menurutnya, misanya akan sama seperti orang dewasa. Bila baby sempat hidup, dia akan dibaptis dulu, baru perminyakan suci. Untuk donor organ, selama tujuannya untuk menolong sesama dan donor dari yang sudah meninggal, diperbolehkan. Tapi kalau untuk ilmu pengetahuan misalnya bila diserahkan ke Patologi UI untuk dipelajari, romo tidak dapat menjawab.
“Apakah rohnya akan selamanya baby?” tanya saya.
Saya benar-benar tidak bisa membayangkan baby yang setiap hari saya ajak berdoa ini harus diajak berbicara seperti baby atau orang dewasa.
Romo mengeleng-gelengkan kepala, tidak bisa menjawab, katanya, “Roh itu tidak bisa dibandingkan dengan badan manusia yang melalui proses dari baby, merangkak, berjalan, dewasa, tua dan meninggal. Di alkitab ditulis, bagi manusia seribu tahun tapi bagi Tuhan hanya sehari.”
“Romo, apakah mujijat itu benar ada?” tanya saya.
“Mujijat ada,” jawabnya pendek.
“Apakah romo pernah lihat langsung?”
“Satu kali,” jawabnya. “Saya lihat orang lumpuh berjalan sesaat di KKR. Tapi saya tidak tahu apakah dia bisa berjalan besok dan besok-besoknya. Kalau Yesus yang sembuhin, selamanya orang itu akan berjalan. Ada juga yang sudah direkayasa. Sulit sekali terjadi mujijat, tidak semurah-meriah yang kita lihat di tv. Kita tidak tahu yang mana yang benar-benar mujijat. Sama seperti manusia bila akan meninggal, di detik-detik terakhir, tiba-tiba dia makan, minum, sehat, jalan, seakan sembuh, tapi besoknya meninggal. Itu yang namanya kekuatan terakhir. Gereja Katolik sangat hati-hati dalam menyebut mujijat. Seperti di Lourdes, kalau kita ke sana, ada ribuan kruk tergantung, belum lagi kursi roda yang ditinggal, tapi hanya sedikit mujijat yang diakui gereja.”
To be continued ...
In Memoriam, Ancillo Dominic - I
Labels: My Life
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
16 comments:
gue udah dapat vi dari temen.. mau di forward ke blog gue ragu.. takut tanpa izin gitu hehehe... membuat gue tidak henti2nya bersyukur karena waktu hamil ken kan gue kena tokso di trimester awal... dan salah satunya bisa bikin yg kae ancillo alami ituu...
@leli: gua kira kalo udah beredar di imel, boleh diposting di blog, udah jadi konsumsi umum kan.
lagian lebih banyak yang baca kan lebih bagus, jadi lebih tersampaikan tujuan penulisnya :)
wah..lu beruntung sekali lel. si kenneth bisa lahir selamat tanpa kurang suatu apapun ya :)
vioooolllllll....... gue nangis malem2 begini di kantorrr.... huhuhuhuhu, terusin dong ceritanya, gue belom dapet imelnya ya ampuuunnnn baeknya dr tjien roni ya....jadi pengen selingkuh niyyy....
aduhhh...semoga Ancillo mendapat tempat di syurga bersama TUHAN
dan buat kita para perempuan, mungkin bisa mulai konsultasi ke dokter kandungan, kira2 berapa asam folat yg musti kita konsumsi ya? huhuhhu****masi sedihhhh
viol, gua lagi break baca google reader di study room, juga jadi nangis.. hadohh..
Kayanya pemeriksaan pra kehamilan memang perlu banget ya.. Dan kondisi sang Ibu, jadi belajar..
Kebayang org dulu ga pake ribet2 gitu..
Dia pasti bahagia pernah ada di dalam kandungan ibu, senantiasa mendapatkan kasih dari keluarganya.
Semoga Ancillo diterima di sisiNya.
Amen!
gila vi..gw baca aja sambil nangis gini...masi berlanjut yak? ditunggu postingannya lage... thanks for sharing yak..
er.. er..
nice story tante.. lanjutin dongg
huhu..panjang sekali :D baru kubaca sedikit sedikit :D
thanks ya buat storyna..
Huu uu uu... aku malah jadi pengen hamil, Vi :(
Pagi-pagi udah mewek di sudut kantor.
Buruan posting lanjutannya dong Vi.
klo nurut gue siy ya berpikir positif itu haruss bangett... ketika gue tau kena tokso... gue berusaha untuk ngak mikir yg ngak2... karena makin stress makin susah 'kali yaa... dan klo baca the secret.. makin berpikir negatif.. maka datanglah yg negatif itu
gue setuju banget...pemeriksaan pra hamil terutama TORCH tuh harus dan penting banget!!! gue teledor hanya karena merasa malas dan merasa ngak bakal cepet hamil maka ngak dicek... ternyata malah hamil dan ngeceknya juga telat.. gara2 ketemu dokter dodol yg cuek.. yg minta cek juga gue karena dianjurin ama sepupu (maklum masih rada buta)..
Sekali lagi mencegah emang lebih baik, tapi yg lebih baik lagi adalah selalu berpikir positif :))
Vi, gw juga dapet cerita lengkapnya dari email...bacanyanya sambil melelehkan air mata...
Sedih banget ya, cuma gw salut sama papa mamanya Ancillo...
Banyak ortu yang menolak anaknya yang cacat..
iya, gua juga bacanya sambil nangis2, baca sampe 2 hari baru kelar. memang sedih banget ya ceritanya.
setuju lel. bagaimanapun kita harus berpikir positif, dan kalo kita tau lebih dini kan kita bisa setidaknya siap2 batin gitu.
berarti untung banget ya lu dengerin kata sepupu lu dan cek TORCH itu. bener2 sukur ya lel :)
viol, gue lagi di kantor siang2 bolong nihhh, huaaaaaa...
Hi Viol, salam kenal ya..
Thx dah posting cerita ini di blog meskipun mata gw jadi merah n sembab sehabis baca. Tapi gw jadi pengen tes ini itu dulu sebelum hamil lagi.
Semoga Ancillo bahagia dipangkuan Nya. Amin..
@ferlin: masih banyak lo sambungannya. siap2 aja ya lin.
@yulian: hai..salam kenal juga. tadinya gua sempet ragu mo posting soalnya panjang banget, tapi ternyata banyak yang blom baca juga ya.
thanks for sharing. i really appreciate this. You're a wise mom, He loves you much. :)
aku barusan keguguran..dan bener, perasaan bersalah karena ga jaga baby baik-baik sampai sekarang setelah lewat 2 minggu pun masih sangat terasa..aku baca cerita ini saat selesai kuret dan dalam masa observasi dokter di rumah sakit. duh, rasanya bener-bener bisa ngerasain perasaan mama yenny, secara sebelum keputusan kuret dari dokter, awalnya aku sudah divonis hamil di luar kandungan. baik aku maupun dokter dari awal ga mau untuk menggugurkan kandungan. dokterku cuma bilang klo di usia kehamilan 10 minggu, kemungkinan gugur sangat besar. tapi aku tak pernah berhenti berharap dan berdoa. yaaahhh, Tuhan akhirnya memanggil kembali baby ku tepat di usia 10 minggu kehamilanku...
Post a Comment