21 Minggu
Hari itu lebih ramai dari biasanya, ketika kami menaruh buku kesiangan sepuluh menit saja sudah dapat nomer belasan. Dokter menyambut kami dengan gembira dan memeriksa baby dengan seksama. Setelah selesai periksa, dokter menceritakan kalau dia baru dimarahi oleh seorang ibu. Babynya terkena tokso, telapak tangan kiri tidak ada.
Di awal kehamilan dokter sudah menemukannya dan menulis di bukunya, tapi dokter prefer tidak memberitahukan ke orangtua baby, dia merahasiakannya, biar bagaimanapun baby ini harus dilahirkan.
“Untuk cacat minor, tidak seorang dokter pun boleh aborsi,” katanya.
Orang tua baby itu begitu marah saat melihat baby cacat. Kata mereka, kalau tahu baby akan cacat, dari awal mereka akan keluarkan.
“Ibu..,” kata dokter, “Bayi ibu tidak kurang apa-apa, dia cuma tidak punya telapak tangan, masih banyak bayi yang cacatnya lebih berat, tapi ibunya tetap terima dia.”
Ibu itu tetap tidak bisa terima dan tidak bersyukur. Mungkin sudah insting dokter untuk mempertahankan baby itu agar tetap hidup walaupun resikonya dia habis kena marah.
26 Minggu
Hari itu mood dokter sedikit jelek, begitu datang dia langsung meminta maaf karena sudah bikin saya menunggu lama. Senyum menawan yang selalu menghias wajahnya lenyap. Dia sedang kesal dengan orang yang suka cari hari dan jam untuk caesar, karena bikin berantakan semuanya dan mengorbankan orang lain.
Biasanya hari Sabtu pagi dokter mulai praktek jam 8.30, kadang lebih pagi, tapi hari itu baru mulai jam 11 siang, karena tiba-tiba didatangi dua keluarga untuk caesar tanpa perjanjian sebelumnya karena jamnya bagus. Jadinya pagi itu dokter caesar empat orang, dan setelahnya dokter sekalian visit pasiennya yang akan pulang.
Saya menunggunya sampai gempor dan kelaparan. Soalnya suster bilang cuma caesar dua pasien, itupun dokter sudah stand by dari jam 6 pagi, tapi kenapa dokter tidak muncul juga. Mau pulang juga sudah tanggung. Begitu saya masuk dapat nomer 1, di meja dokter sudah penuh dengan buku, membentuk beberapa jejer selebar meja, sampai hampir tumpah di ujungnya, hanya meninggalkan sedikit space di tengah-tengah. Bukunya sudah lebih dari nomer 60, di luar suster masih terus tensi, pasiennya masih terus berdatangan.
“Manusia kalau dikit-dikit lihat hari, lihat jam, lama lama manusia jadi terbelakang, percaya tahyul,” kata dokter. “Nggak usahlah lihat-lihat hongsui, tanggal, hari atau jam, Tuhan sudah atur semuanya, dan semuanya bagus. Betul nggak?” tanyanya pada Jc, masih sedikit jengkel.
“Iya,” jawab Jc sambil senyum, lucu melihat dokter tumben bete.
Sambil berdiri, dokter menggeser-geser dan merapatkan barisan buku-buku di mejanya supaya ada sedikit space untuk menaruh tangan agar bisa bergerak.
“Saya nggak tahu, dari mana aja pasien saya sebanyak ini. Minggu lalu ada yang dari Sumatra. Bingung saya, kenapa jauh-jauh cari saya?” tanyanya heran.
“Itu yang namanya rejeki, Dok” kata suster tinggi berkacamata disampingnya. Usianya sudah setengah baya.
“Begitu ya, sus?” tanya Dokter, matanya tidak lepas menatap suster itu, menunggu jawaban darinya.
“Rejeki dari Tuhan, Dok,” jawab suster itu dengan sabar, seperti seorang ibu sedang menasehati putranya.
“Oya. Jalani aja. Semua dari Tuhan. Begitu kan, Sus?” tolehnya ke suster.
“Iya,” suster menjawab dengan senyum sabar.
“Saya juga sedih, banyak pasien, banyak juga fitnah yang saya terima,” katanya sambil menggelengkan kepala, mukanya meringis. “Banyak….,” suaranya bergetar. Pasrah. Dokter menghela napas. “Mau diapain, ya sudahlah.. toh saya bekerja untuk Tuhan.”
Moodnya berubah cepat, begitu jalan ke kursinya untuk USG, wajahnya sudah cerah kembali, melangkah ringan sambil bernyanyi-nyanyi. Dokter mengukur panjang kaki dan tangan baby.
“Yenny, baby lu sehat sekali,” seru dokter. “Coba lu lihat ini, dia happy, dia lebih besar dua minggu dari umurnya. Ukurannya 28 minggu, lu kan baru 26.”
“Kok gede ya, Dok?” tanya saya.
“Emang yang pertama dan kedua berapa?” tanyanya balik.
“Tiga kilo dan tiga enam.”
“Lumayan gede,” kata dokter, “baby nggak akan seberat kakaknya, karena dia nggak punya tempurung. Tapi ini ukurannya udah bagus banget, dia sehat sekali.” Dokter menerangkan sambil berbinar-binar.
Dokter kembali memperlihatkan bagian-bagian tubuh baby yang sudah sempurna terbentuk. Dia juga memperdengarkan jantung baby, bagus semua.
Sekembalinya di mejanya, dokter berkata, “jangankan baby cacat, baby sehat pun bisa dipanggil Tuhan kapan aja..”
“Kemarin pagi,” ceritanya, “Saya baru tolong satu ibu melahirkan. Jam 5.30 pagi ibu itu datang ke kamar bersalin, kontraksi, 39 minggu. Lalu di CTG selama setengah jam, kondisi ibu dan baby bagus tinggal menunggu pembukaan. Tiba-tiba jam 6, kondisi jantung baby resah, drop ke 50. Saya ditelpon suster, terus saya kasih instruksi supaya ibunya tidur miring ke kiri biar oksigennya lebih banyak. Saya segera datang, lima belas menit kemudian, jam 6.15 langsung siap caesar karena jantung baby sudah makin drop. Begitu baby dikeluarin sudah tidak tertolong, keburu meninggal di dalam.”
Dokter terdiam lama.
”Siapa sangka….,” katanya pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita nggak bisa duga…, selama sembilan bulan kontrol, USG, semua bagus, sampai minggu lalu kontrol terakhir masih bagus semua, kenapa pas detik terakhir… tinggal lahir malah meninggal? Sebentar aja udah nggak ada. Kita nggak tahu Tuhan punya mau.”
Matanya menerawang ke atas. “Sebelum ke sini, saya sempat tengokin dia, kasihan sekali dia, masih bengong-bengong sendirian di kamarnya.”
Dokter menghela napas panjang dan termangu menatap kosong lembaran kertas putih untuk dituliskan resep.
Saya bisa membayangkan pasti ibu itu sudah menyiapkan dengan sempurna semua keperluan baby mulai dari baju baru, kaos kaki dan tangan, topi, popok, kain bedong, minyak telon, bantal, selimut, tempat tidur baru, kamar baby. Sekarang impiannya hancur...
Kami ikut diam, memperhatikan dokter. Kami menunggunya, sampai akhirnya dokter mendongakkan kepala dan bertanya, “Vitamin masih ada, Yen?”
Nah, dia sudah kembali. Seperti biasa dokter hanya meresepkan obat tambah darah dan kalsium karena dokter tahu saya alergi susu. Ketika pulang, saya bilang ke Jc, lain kali kita ke kontrol dokternya ajak anak-anak saja. Jadi dokter tidak cerita yang sedih-sedih. Jc cuma bilang, nggak usahlah, dokter kan juga perlu curhat. Dia cuma bisa curhat ama kita, kalau pasien yang babynya baik-baik aja, mana mungkin dia cerita kayak gini. Bener juga.
Saya sempat bertukar cerita dengan beberapa teman yang pernah dirawat oleh dokter, mereka bilang dokter jarang cerita, cek biasa aja, yang pasti dokter enak diajak ngomong, kalau diSMS pasti dijawab, segar banget orangnya, dan ngomongnya gua-elu. Bahkan ada seorang teman sering SMS dokter, iseng aja, katanya senyum penuh rahasia.
30 Minggu
Saya sempat balik sekali ke Dr. Yani. Saya langsung memperlihatkan foto baby USG 4D. Dokter tersentak kaget, badannya mundur, menjauh dari mejanya, langsung mengangkat kedua tangannya. “Ya mau diapain lagi… ini udah rencana Tuhan..” Hanya itu yang dikatakan olehnya.
Dokter sempat kesal karena lima bulan saya tidak kontrol dengannya, malah pindah ke lain hati. Padahal semua bayi yang jumlahnya selusin di keluarga kami ditambah beberapa bayi dari sepupu saya, lahir ditangannya.
Sambil USG, dokter berkata, “hamil lagi deh, berikutnya nggak akan begini lagi, saya jamin. Ini boleh dibilang ….,” kata-katanya mengantung.
“Apes?” tanya saya, sepertinya dokter memang ingin bilang kata ini.
Tapi dokter tidak mengiyakan maupun membatah, kepalanya antara mengangguk dan menggeleng.
“Dok, apa saya musti minum asam folat dosis tinggi?” tanya saya.
“Percaya sama saya, ini bukan karena asam folat dan hanya terjadi satu kali aja. Makanya saya bilang, abis ini langsung hamil lagi.”
“Dok, saya akan hamil gajah ya, waktu USG katanya ginjalnya jelek?”
Lalu dokter memeriksa ginjal baby. “Ini apa, ginjal kan? Dua-duanya bagus, normal, kalau nggak perut baby udah bengkak.”
Dokter kurang sependapat dengan USG 4D yang menurutnya komersial, rekomendasinya kurang bisa dipakai.
“Jantungnya bisa didonor, Dok?” tanya saya.
Dokter menggeleng-gelengkan kepala. “Jantungnya terlalu kecil, jantung orang dewasa aja susah untuk di donor.”
“Kasus seperti ini sering nggak?” tanya saya lagi.
“Udah sering,” jawabnya. “Di German ada, di PIK ada, di Pluit ada, Mutiara waktu itu belum jadi, Family juga ada. Biasanya hidup tiga hari, yang paling lama hidup tujuh hari, akhirnya meninggal juga. Nanti melahirkannya biasa aja, diinduksi dan pakai epidural, nggak perlu dicaesar. Kalau nggak diinduksi dan epidural, lahirnya bisa lama, takutnya keburu kehabisan tenaga.”
“Apakah dia akan telat lahir?” tanya saya cemas.
“Nggak mesti. Biasa aja, lahir tepat waktu.”
Dokter juga menyarankan untuk kontrol kapan aja, pas hari melahirkan juga boleh, dan minum susu untuk kalsium ibu, tidak perlu vitamin lain.
Kami tidak balik lagi ke Dr. Yani karena merasa lebih cocok dengan Dr. Ronny.
35 Minggu
Dokter menunjukkan posisi kepala baby masih di atas, tidak bisa memutar karena sesuai gravitasi, pantatnya lebih berat dari kepalanya, baby sungsang.
“Lu siap-siap lahir pantat ya,” kata dokter santai.
“Kata mama, dulu saya juga lahir pantat dulu,” kata saya. “Apa lingkar pantat lebih kecil dari kepala?”
“Kalau babynya kecil, lingkarnya hampir sama,” jawab dokter. “Tapi kalau babynya gede bisa bahaya, bisa nyangkut di bahu pas lahir. Lu nggak usah takut, baby lu nggak besar, mungkin nggak sampai tiga kilo. Gua coba ukur ya kira-kira beratnya berapa.”
Setelah mengutak-ngatik monitor, dokter berkata, “Alat ini selalu minta lingkar kepala, sedangkan baby nggak punya lingkar kepala. Jadi kalau kita masukkin lingkar kepala nol, dia nggak mau keluarin beratnya. Barusan gua ukur dia punya tungkai kaki dan tangan, ukurannya normal. Bagus.”
Dokter masih penasaran mengutak-ngatik lagi. Akhirnya menyerah.
“Baby begini, memang biasanya sungsang, dia nggak bisa muter, pantatnya lebih berat dari kepalanya dan memang lebih bagus lahir pantat sehingga nanti ada penekanan supaya mulut rahim bisa terbuka.”
Sambil USG, dokter cerita, “Pagi ini gua praktek kesiangan karena diatas tolong satu ibu dulu, hamil lima bulan tapi udah keburu pecah ketubah, baby mau dicoba untuk dipertahankan satu bulan lagi baru dilahirin, tapi ibunya keburu panas tinggi dan kejang, akhirnya babynya nggak tertolong, belum mateng.. ”
Mata dokter masih di layar monitor, sambil memperlihatkan baby ke saya.
”Dok, mukanya baby akan cakep atau seperti monster?” tanya saya, selama ini gambaran mukanya adalah fotonya saat USG 4D.
“Mukanya biasa aja, seperti muka baby lainnya, hanya aja dia cuma sampai alis.”
“Bisa dipakein topi?”
“Nggak bisa lho, karena dia nggak ada lingkar kepala.”
Belakangan saya baru sadar bahwa dokter berbohong untuk membesarkan hati saya, baby mukanya tidak biasa, sama seperti semua baby anencephaly, matanya menonjol seperti kodok.
“Apa isi otaknya akan berantakan?” tanya Jc
“Otaknya nggak berantakan, seperti tahu, ada penutupnya seperti selaput tipis.”
“Dok, apa jantung atau ginjalnya bisa didonor?”
“Wah bagus sekali kalau bisa,” wajahnya langsung cerah, matanya berbinar-binar. “Coba lu cek ke Harapan Kita. Kalau bisa didonor, dia nggak akan sia-sia kan? Mungkin masih bisa berguna buat yang lain. Bagus sekali lu punya pikiran seperti itu.”
Dokter pun cerita kalau ada pasiennya ada juga yang cacat jantung berat, babynya tidak ada harapan untuk hidup. Kemungkinan saat lahir langsung meninggal. Tapi orangtuanya bilang mereka mau coba lahirkan di Singapura, dan dokter bilang nggak masalah. Ketika kontrol sebulan setelah melahirkan, ibu itu cerita kalau babynya sempat hidup seminggu di ICU, sempat juga jalani operasi jantung tapi akhirnya meninggal juga
“Saya sudah cek di internet, belum ada mengenai donor jantung baby,” kata saya.
“Memang… sulit sekali operasi jantung, apalagi ini jantung baby, kecil sekali.”
“Dok, kalau lahirin nanti, sebelum digunting, dibius dulu nggak?” tanya saya sambil nyengir, ngeri membayangkan harus digunting.
Jc yang sudah dua kali menemani saya melahirkan mengatakan kalau yang digunting adalah daging yang tebal di sekitar pantat, bukan cuma selaput tipis. Saat digunting, bunyinya juga krek-krek-krek.
“Enggak dibius,” jawabnya santai. “Karena rasa sakitnya melebihi waktu digunting.”
Saya cuma melongo, pasrah.
“Pas jahitnya baru dibius,” tambahnya mencoba menenangkan saya, mengerti betul saya sedang cemas. Jawaban dokter tetap aja tidak menenangkan hati saya.
“Kapan kontrol lagi, Dok?” tanya saya.
“Lu kontrol lagi akhir bulan aja, nanti pas 38 minggu aja, nggak perlu mingguan, biasanya kalau akhir bulan lebih sepi, nggak seperti awal bulan, lebih ramai. Jadi lu juga nggak perlu antri lama-lama. Gua biasanya menghibur begini ke pasien,” katanya sambil senyum.
Mau gimana lagi, dokter memang kesayangan ibu-ibu hamil. Sejak hari Jumat Agung saya ikut novena Kerahiman Ilahi. Saya sengaja mengambil cuti seminggu di kantor. Novena mulai jam 12 siang. Setelah itu saya berdiam lama di depan kanfas besar bergambar ‘Yesus, Engkau andalanku’ sambil koranka, rosario dan jalan salib. Seperti yang diminta Yesus sendiri bahwa Dia sangat ingin ditemani di hari-hari itu. Saya berada di kapel, kadang di gereja di depan tabernakel sampai pukul tiga siang.
Hanya satu pengharapan saya yang terakhir, mungkin Tuhan mau berbelas kasih kepada baby. Segala rahmat yang boleh saya dapatkan, semuanya ingin saya mintakan untuk kesembuhan baby. Saya berharap baby bisa lahir tanggal 30 Maret, di hari pesta Kerahiman Ilahi, karena janji Yesus sendiri, segala rahmat akan turun dari surga di hari itu. Ternyata, baby belum mau lahir. Saya sedikit kecewa. Lalu saya kembali masuk kantor. Teman-teman mengira saya sudah melahirkan, karena saat itu sudah 38 minggu.
38 minggu
Hari itu baby muter lagi, kali ini kepala berada di bawah, sudah siap dengan posisi lahir. Saya sempat bertanya-tanya, apa ini jawaban dari novena, karena saya cemas akan melahirkan sungsang. Paru-paru baby sudah matang dan sudah siap lahir.
“Baby akan terlambat lahir sekitar dua minggu, nanti kita lihat, kalau fungsi plasenta sudah menurun baru kita induksi,” kata dokter. Dokter mengingatkan bila pecah ketuban atau keluar flek darah, langsung ke kamar bersalin lantai 2, nanti suster akan menelpon dokter.
Minggu ini, kata dokter, ada pasien baru, kontrol umur 38 minggu. Baby sudah mau lahir, tapi si ibu tidak tahu kalau babynya tanpa tempurung. Ibunya kaget, dokter sebelumnya tidak pernah inform. Menurut dokter, kemungkinan dokter buru-buru, hanya menghitung panjang lengan dan kaki, kalau kepalanya menyumpet tidak dicari. Saat memeriksa ibu itu, dokter juga tidak percaya kalau babynya tanpa kepala, sampai dokter meminta untuk USG lewat vagina, karena baby sudah turun kadang sulit mengecek kepalanya.
Pasiennya ada yang terkena thalasemia, anak kedua. Orang tuanya masing-masing membawa thalasemia mayor. Anak pertama sehat, tapi anak kedua kemungkinan kena. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan. Dokter mengatakan bahwa cuma bisa amniosintesis, ambil sample air ketuban, lewat pusar ibu. Tapi kemungkinan ibunya bisa terkena infeksi dan baby gugur. Mereka tidak jadi melakukannya karena yakin babynya akan tidak apa-apa.
Saat baby sudah lahir berumur tiga bulan, mereka bertemu dokter lagi, dokter berkata, “Baby elu lucu.” Tapi mereka menjawab, “lucu sih lucu.., tapi menyedihkan.. Benar yang dokter bilang, dia kena thalasemia. Umurnya baru tiga bulan, tapi sudah dua kali transfusi darah, habis cuci darah baru segar lagi, sebentar dia pucat lagi, musti transfusi darah lagi.”
Dokter menerangkan bahwa untuk bayi, transfusi itu sangat menyakitkan sekali karena pembuluh darahnya begitu kecil, susah mencari nadinya dan ditusuk-tusuk. Menderita sekali. Proses ganti darahnya lebih lama dari orang dewasa. Dokter menyarankan untuk transplantasi sum-sum di Hongkong karena teknologinya sudah 20 tahun lebih maju dan mereka sudah berhasil menyembuhkan thalasemia. Biayanya sekitar 1,5 milyar baru untuk berobat aja, belum termasuk tinggal dan cek rutin. Mereka bilang ya, saat ini kumpulan dana untuk berobat.
Ada seorang enci jualan manisan di Pancoran, suaminya baru kena stroke, sedangkan jualan manisan sepi sejak issue formalin. Bayinya 35 minggu, jantungnya tidak bagus. Dokter bilang baby mungkin akan meninggal dalam seminggu, jadi kalau bisa minggu depan kontrol lagi.
Tiga minggu kemudian enci itu baru datang lagi, dia bilang babynya udah seminggu lebih tidak bergerak. Dokter mengecek, tahunya sudah meninggal di dalam, baby hanya bisa dilahirkan. Lalu enci itu menanyakan biaya melahirkan ke admin dan kembali ke dokter mengatakan bahwa biayanya masih kemahalan. Dia menanyakan rumah sakit mana yang murah. Dokter bilang Rs Budi Kemuliaan di Tanah Abang, setahunya murah dan bagus karena rumah sakit itu semi pemerintah.
“Tiap hari ada aja yang bikin sedih, yang cacat banyak, macam-macam cacatnya,” kata dokter, terdiam sebentar, “yang meninggal juga ada...”
Dokter menatap lurus mata saya, “gua cerita banyak ke lu karna gua mau lu tahu … kalau lu nggak sendiri.”
Saya sampai terpana mendengarnya. Tidak pernah terpikir sejauh ini.
Sambil menuliskan resep, dokter cerita kalau dia sedang sedih karena satu pasiennya hendak membuang babynya yang terinfeksi rubella. Dokter sudah mencoba meyakinkan mereka, bahwa ada pasiennya sekarang sudah umur lima tahun, divonis kena rubella saat masih dikandungan, kemungkinan cacat 90%, tapi orang tuanya tetap pertahankan dia, karena masih ada chance normal 10%. Orang tua anak itu sungguh bersyukur tidak buang baby mereka, nyatanya sampai sekarang anak itu sehat tanpa pernah diganggu rubella.
“Kalau masih ada chance untuk normal, biar cuma 10%, kenapa harus dibuang?” katanya sedih. “Walau nggak ada chance, cacat pun kita pelihara dia, kenapa harus dibuang?”
Kemudian dokter menatap kami, “Untung lu tetap pelihara dia,” kata dokter. “Badan ada waktunya mati tapi roh itu kekal, dia tidak akan mati. Di akhir jaman nanti, saat semua dibangkitkan, baby akan bilang mama terima kasih karena mama nggak buang dia. Kalau dulu lu buang dia, saat bertemu nanti, dia akan langsung bilang ‘Mama pembunuh’!”
Dokter menghela napas. “Makanya banyak pembunuh yang hidupnya nggak bisa tenang karena terus dikejar perasaan bersalah.”
Iya juga.., bagaimana kalau sampai dicap pembunuh oleh anak sendiri.
“Dok, nanti kalau setelah melahirkan, pas udah boleh pulang, apakah saya boleh ikut kreamasi?” tanya saya.
“Jauh nggak? Kalau dekat-dekat aja dan cuma sebentar sih boleh. Soalnya lu masih belum kuat.”
“Deket kok, di Atmajaya.”
“Kalian sudah ke sana?”
“Udah,” kata Jc. “Tahunya baby nggak perlu difreezer, Dok. Baby tiga hari dibiarin masih bagus, nggak perlu diformalin juga. Kita nggak perlu sewa ruangan karena biasanya baby nggak ditungguin keluarganya. Atmajaya juga akan sediakan satu ruangan kecil untuk kebaktian.”
“Memang, badan baby beda ama kita,” kata dokter. “Badan kita kan udah kotor, perut kita juga makan sembarangan, jadi lebih cepat busuk. Tapi baby kan belum makan, darahnya juga masih bersih, jadi bisa tahan lama.”
Lalu dokter menjadwalkan kontrol berikut, dua minggu yang akan datang.
40 Minggu
Sesuai yang dijadwalkan, kami kontrol. Hari itu hari perkiraan lahir. Sudah empat hari saya merasa perut kencang seharian, tapi mulasnya tidak bertambah, masih bisa ditahan.
“Ini lagi kontraksi,” kata dokter sambil memegang perut saya yang saat itu sedang kencang. “Sakit nggak?”
“Nggak,” jawab saya. “Ya segini-gini aja, nggak mau nambah, masih bisa tahan.”
“Memang, baby nggak bisa menekan, dia nggak punya tempurung kepala yang bikin berat, untuk dorong supaya rahim mau ada pembukaan.”
“Posisinya udah turun ya, Dok? Perut atas saya sudah kosong.”
“Memang sudah turun, tapi dia nggak mau menekan.”
Dokter menjadwalkan jam 8 pagi di kamar bersalin, tanggal 16 April. Tadinya dokter meminta tanggal 17 karena dia seharian di rumah sakit ini, tapi saya minta tanggal 16 karena saya ingin baby lahir di hari St. Bernadeth, santa pelindung saya. Dokter menyetujui, tidak masalah tanggal 16, paginya dia praktek di sini, siang tempat lain, tapi sore balik lagi praktek di sini. Ibu saya yang pintar cari hari juga mengatakan kalau sampai akhir bulan April, hanya tanggal 16 yang bagus buat melahirkan, lainnya jelek. Andaikan ibu saya menyebut tanggal lainpun, saya tetap memilih tanggal 16.
“Kita tunggu dia kontraksi alami ya, sampai tanggal 16, kalau nggak lahir juga, baru gua induksi. Gua nggak mau buru-buru induksi, nanti lu kesakitan banget, biasanya kalau sudah diinduksi pada nggak tahan, sekalian minta epidural. Lu kan nggak boleh pakai epidural,” kata dokter prihatin. “Lihat nanti deh, atau gua balon dulu ya, gua pancing dia mulas dulu, jadi nggak usah induksi dulu.”
Lalu dokter meresepkan obat pelunak rahim untuk diminum malam sehari sebelumnya. Tapi begitu saya minta disiapkan darah untuk jaga-jaga pendarahan, dokter langsung mencoret resepnya, batal memberikan obat,
“Jangan obat ini deh, takutnya malah bikin lu pendarahan.”
Dokter berpikir keras, menganalisa segala kemungkinan. “Nanti aja di kamar bersalin baru gua atur, induksinya pelan-pelan aja, jadi lu nggak perlu diepidural, gua bikin lu nggak kesakitan ya,” janjinya.
“Dok, nanti sekalian pasangin selang buat transfusi darah ya?” pinta saya.
“Lu tenang aja,” jawab dokter. “Gua pasti siapin darah buat lu sekalian selangnya. Pasien gua pasti udah dipasangin, jadi kalau pendarahan, bisa langsung transfusi darah, lebih cepat. Kalau pendarahan baru mau cari nadi, udah terlambat, nggak keburu, nadinya susah ketemu.”
Langsung terbayang saat pendarahan yang lalu, beberapa suster berlomba mencari nadi di segala penjuru, kaki, telapak tangan, lengan, kiri dan kanan, semuanya ditusuk dengan jarum, bahkan setelah tusuk masih dibelok-belokkan, sakitnya terasa tapi badan saya tidak berdaya, saya diantara sadar dan tidak.
Samar-samar, sekeliling ranjang saya terlihat sudah penuh suster dan ada satu dokter, badannya tinggi besar dihadapan saya. Badan saya diguncang-guncang dari bahu sampai kaki oleh beberapa suster, ada yang meneriakkan di kuping saya bahwa saya tidak boleh tidur, harus bangun, harus bangun, pipi saya ditepuk-tepuk keras-keras kiri kanan, serasa terayun-ayun, semuanya jadi putih, begitu damai.., dingin.. tidur.. putih..
Suara orang demikian ramai, tapi terdengar jauh sekali, makin lama makin menghilang. Pikiran saya melayang jauh, mata saya mencari-cari … dimana ini, mana ya Yesus, janjiNya mau jemput… kok nggak datang-datang. Saya hanya melihat ada satu warna.. putih yang terang, putih yang dingin, putih yang damai...
“Bener, Dok” jawab saya, “kalau pendarahan pulihnya lama, dua bulan masih keleyengan.”
“Moga-moga kali ini lu nggak pendarahan ya,” katanya optimis.
Lalu dokter menulis resep, “Vitamin masih, Yen?”
“Abis.”
“Gua resepin Inbion aja ya, resepin lebih, soalnya nanti abis melahirkan lu banyak hilang darah, lu tetap minum ya buat tambah darah. Ngomong-ngomong, dulu ASI lu banyak nggak?”
“Nggak terlalu.”
“Kalau banyak, gua nanti sekalian kasih obat stop ASI, lu kan nanti nggak nyusuin.”
“Tiap kali ASI suka masalah. Yang pertama, sempat dibawa ke UGD, kejang-kejang, yang kedua panas tinggi. Macet salurannya.”
“Terus lu gimana?” tanya dokter, dahinya terangkat. “Pasien gua banyak kayak lu.”
“Di rumah ada alat yang kayak di tempat akupuntur, buat sinar, dadanya dipanasin, nanti ASInya bisa keluar sendiri, lancar. Kalau nggak mah keras banget, mau dipompa nggak bisa, diperas nggak bisa. Sakit banget.”
“Beli dimana alatnya, biar nanti rumah sakit sediain juga,” tanya dokter.
“Nggak tahu, kakak saya yang beli.”
“Boleh juga ya cara lu .. nanti gua kasih tahu pasien gua deh,” kata dokter gembira.
Saya sampai terheran-heran melihat dokter, padahal hanya sebuah ide sederhana.
To be continued ...
In Memoriam, Ancillo Dominic - II
Labels: My Life
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
gila ye... padahal dah tau anaknya bakal lahir cacat tapi masi berhati mulia tuk donor organ bayinya... hikshiks benar2 berjiwa besar banget yak...
iya fun, dia emang orangnya baik ya.
Post a Comment