In Memoriam, Ancillo Dominic - III

Hari H

Hari yang ditunggu semakin dekat. Saya merapikan pekerjaan kantor dan bersiap-siap untuk cuti selama satu bulan, karena tidak ada babynya, tidak perlu cuti lama-lama. Malam terakhir, kami bersama anak-anak mempersembahkan doa koronka untuk adik baby yang akan lahir. Anak-anak sudah kami persiapkan untuk berita kematian, dengan menceritakan bahwa saat mereka lahir kelilit tali pusar, tapi tidak terlalu kencang, masih bisa terlepas dan bernapas.

Tapi untuk adik baby, belum tahu apakah akan kelilit atau tidak. Untuk itu kami berdoa agar adik baby tidak kelilit. Saya berdoa sambil menahan sedih, hari ini akan menjadi hari terakhir baby bersama kakaknya. Apakah juga akan menjadi malam terakhir bagi saya? Saya buru-buru mengenyahkan pikiran itu.

Setelah pesta hari Kerahiman Ilahi tanggal 30 Maret, baby tidak mau lahir juga, saya meminta Tuhan supaya bisa lahir tanggal 4 April, yaitu hari Jumat pertama, tahunya meleset juga. Terakhir saya meminta tanggal 16 April, masa meleset juga, pikir saya. Tiap hari kami misa pagi dari jam 6.00 sampai sekitar 6.40, sehabis itu masih sempat antar anak-anak ke sekolah. Sebelum ke gereja, saya menyempatkan novena Hati Kudus Yesus, ada kata-kata yang paling saya suka ‘kepada siapa saya berharap, kalau bukan kepada hatiMu… Yesus, buatlah yang hatiMu kehendaki.’

Romo Andreas pernah mengatakan kalau Yesus yang kita sembah bukan Yesus seperti di film-film Bollywood atau di sinetron-sinetron, dimana Yesus kita bentuk sesuai maunya kita, dimana Yesus yang terbalik melayani maunya kita. Bukan juga Yesus yang superstar, yang ikut Yesus pasti sukses, pasti sehat, yang pasti-pasti, bukan semua, tapi Yesus yang selalu mengajak kita mengikutiNya memanggul salib kehidupan. Betapa beratnya mengikuti Yesus, pikir saya. Misa pagi hari itu, terbukalah hati saya yang selama ini sangat mengharapkan kesembuhan baby. Romo berkata, “Yesus ada dimana kehendakNya terjadi.”

Romo menutup misanya dengan berpesan mengutip kata-kata Martin Luther, “kalau kita berjumpa Yesus hari ini, hanya empat kalimat yang akan Dia katakan, I Love You, I Know You, I Understand You… terakhir… Do You Know Me? Saya mencintaimu, Saya mengenalmu, Saya mengertimu, apakah kamu mengenalKu?”

Air mata saya langsung menetes, maafkan saya, Yesus, saya meminta begitu banyak padahal saya tidak mengenalMu. Bagaimana Kau bisa berkarya di hati seperti ini? Saya meminta Kau menyembuhkan Ancillo, tapi kita seperti orang baru kenalan. Mulai hari ini, biarkan aku belajar mengenalMu dari awal lagi, tambahkanlah imanku.

Sejak saat itu saya berhenti mengharapkan mujijat kesembuhan, biarlah kehendakNya yang terjadi. Hati saya lebih tenang. Bukankan Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kekuatan kita? Romo menambahkan, “Percaya sungguh-sungguh pada Yesus dan terjadilah.”

Jam 8 pagi saya masuk kamar bersalin setelah mengisi formulir admin dan menyerahkan buku medik ke suster. Suster langsung menyiapkan CTG untuk memantau jantung baby dan kontraksi selama setengah jam, lalu mengambil darah dan menyiapkan infus induksi, juga menyiapkan sekantong darah untuk jaga-jaga. Suster juga memberikan obat mulas untuk cuci perut.

Suster konsultasi dengan dokter lewat telepon karena dokter sedang operasi caesar. Ternyata sudah bukaan 1. Tetesan induksi di infus elektronik hanya 4 ml. Selesai operasi caesar, dokter memeriksa kondisi saya, lalu meminta suster untuk menyuntikkan pelunak rahim, karena mulut rahim masih sangat tebal, baby tidak ada penekanan.

Dokter menyarankan untuk menambah kantong darah menjadi dua kantong, satu kantong discreening, satu lagi tidak. Setelah satu jam tidak ada kemajuan pembukaan, dokter mengatakan saya akan dibalon. Saya yang masih bisa jalan sendiri pindah ke ruang tindakan. “Gua buat lu nggak kesakitan,” dokter menghibur saya. “Sabar ya, sayang, memang nggak enak sedikit rasanya, tapi ini akan buat pembukaan ada kemajuan.”

Walaupun dokter hafal nama, tapi dia lebih sering memakai kata ‘sayang’ ke pasien dan suster.
Ada seorang berpakaian suster, sudah berumur, berambut panjang dan bertubuh kecil mungil, tugasnya membantu para suster mengambil obat ke apotik, mengambil hasil darah ke lab, dan menyiapkan alat-alat yang akan dipakai dokter. Ada satu lagi tugasnya, mencukur rambut bawah, para suster menyebutnya ‘cuplis’. Nama asisten para suster itu mbak Iyem.

Ketika hendak memasangkan balon, suster membantu dokter mengikatkan bajunya dari belakang, bajunya mirip baju anti peluru.
“Eiit… entar dulu,” kata dokter. “Mau betulin dasi. Nyangkut dikit, biar nggak kena ciprat darah.”
Lalu dokter menggulung lengan bajunya, memakai sarung tangan dan bersiap-siap untuk tindakan.
“Mbak Iyem, mau yang ini dong,” pinta dokter sambil menunjukkan alat yang dimaksud, “no.. (sekian)”
Lalu mbak Iyem mencarikan sana-sini, diantara tumpukan alat-alat yang bentuknya mirip-mirip. Setelah ketemu dia berikan ke dokter.
“Bukan yang ini, mbak Iyem,” kata dokter. “Ini kebesaran, ada yang kecilan lagi.”
Dokter dengan sabar menunggu mbak Iyem mencari lagi.
“Bukan yang ini juga, coba cari lagi, ini masih kebesaran.”
Lalu dokter menunggu lagi sambil bernyanyi lagu rohani. Tidak lama ada telpon masuk, dokter on-line lewat bluetooth hitamnya yang menempel di kuping. Habis on-line, bernyanyi-nyanyi lagi atau bercanda dengan suster.
“Yang ini?” tanya mbak Iyem ragu-ragu.
“Masih bukan, udah hampir betul.”
Mbak Iyem masih cari lagi, dokter menoleh berulang kali, masih menunggu, tidak terlihat bete sedikitpun.
“Ini, betul?” tanya mbak Iyem, takut salah lagi.
“Nah, ini dia!” serunya girang sekali, wajahnya langsung berseri-seri, seperti anak kecil menemukan harta karun mainan kesayangannya. “Mbak Iyem… mbak Iyem…, coba dari tadi ketemu, udah selesai nih pasang balonnya.”
“Udah ah, nggak usah mbak Iyem, mbak Iyem,” kata mbak Iyem sambil cemberut. ”Kerjain aja sana.”
Mbak Iyem masih berdiri di belakang dokter. Barangkali dokter perlu alat lain.
Dokter melongok ke mbak Iyem, nyengir, mengedipkan mata dan meledeknya, “Mbak Iyem, mbak Iyem…”
“Udah sana, kerja,” usir mbak Iyem sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Dokter tertawa senang, berhasil bikin orang kesal, mengulanginya, “mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem makin cemberut.
“Coba dari tadi ketemu..,” ujar dokter sambil memasangkan balon, “udah beres nih sekarang.” Dokter menoleh lagi, senang sekali menggoda mbak Iyem yang semakin manyun. “Mbak Iyem, mbak Iyem...”
Mbak Iyem sudah tidak bisa marah. Dia mengacuhkan ketika dokter menggodanya terus. Dokter dicuekin. Percuma juga cemberutin, dokter tidak terasa.
Balon yang dimaksud ternyata karet yang panjang berwarna orange, mirip balon mainan anak-anak, diisi air sebanyak 50 ml, balon diikat simpul, lalu dimasukkan ke mulut rahim dan sebagian sisa karet balon tersebut berada di luar.
Memang tidak terasa sakit sama sekali.
“Mbak Iyem,” pinta dokter setelah selesai tindakan, “disimpan baik-baik alat ini, besok-besok saya mau pakai, udah nggak usah cari-cari lagi.”
“Iyooo..,” sahut mbak Iyem.
“Mbak Iyem, mbak Iyem…,” kata dokter sambil tertawa terbahak-bahak dan berjalan keluar.

Saya kembali ke tempat tidur, lalu suster mengikatkan tali di ujung karet balon yang berada di luar kemudian ujungnya digantungkan sebotol penuh infus sebagai pemberat. Saya harus berbaring lurus, tidak boleh lagi miring-miring. Lalu ketika infus dijatuhkan ke ujung ranjang di ujung kaki, terasa ada tarikan di mulut rahim. Makin lama makin terasa. Sebotol infus itu menjadi pemberat pengganti kepala bayi yang tidak ada penekanan.
Dokter sempat menengok dan memberi semangat, “Sabar ya, sayang, kita coba balon ini dulu, biar bukaan lu nambah.”

Sebelum pergi, dokter berpesan ke suster untuk memberitahukan perkembangannya karena dia akan praktek.
Selama satu jam saya menahan sakit sedikit, sambil memikirkan apa yang bakal terjadi. Tiba-tiba balon kecil itu meluncur keluar dari mulut rahim, melesat ke tanah, ‘gubrak’ botol infus jatuh ke lantai. Suster langsung datang. Beberapa bercak darah dimana-mana karena balon kecil itu meluncur diantara kaki dan jatuh ke lantai.
Dua orang suster membersihkan darah di tempat tidur, besi tempat tidur, dan mengganti seprei, seorang lagi langsung mengecek bukaan. Ternyata bukaan sudah bertambah jadi 3 cm. Suster langsung menelpon dokter memberi kabar.

Dokter mengatakan bagus ada kemajuan tapi biasanya prosesnya lebih lama dan ketika balon terlepas sudah ada di pembukaan 5. Kembali saya diperbolehkan tidur miring-miring, karena rasanya memang lebih enak, tidak menekan tulang belakang. Suster memasang alat CTG, katanya dokter ingin tahu kontraksinya apakah ada kemajuan.

Kontraksi setiap empat menit, jantung baby bagus, lalu induksi ditambah jadi 12 tetes. Jam 10 lewat, pembukaan naik ke 4. Kontraksi per tiga menit, tapi saya saya tidak merasakan sakitnya. Hampir tiap jam suster memeriksa pembukaan, tidak bertambah juga. Jam 2 siang, setelah selesai praktek, dokter kembali visit. Dokter memeriksa kontraksi sudah per 2 menit, tapi baby masih jauh diatas, belum mau menekan jalan lahir. Rahim juga masih keras sehingga disuntikkan lagi pelunak rahim.

“Kontraksi lu udah bagus sekali, Yenny,” kata dokter “kalau keadaan normal, entar sore juga udah lahir. Tapi ini susah, belum tentu mau lahir hari ini. Masih tebal banget rahim lu, sabar ya, lu tidur-tiduran dulu aja, simpan tenaga.”
Lalu dokter terdiam sebentar, memperhatikan kontraksi. “Eh.. ini lagi kontraksi nih, kencang banget, lu berasa sakit nggak?”
“Nggak sakit sama sekali.”
“Berarti lu tahan sakit…,” katanya. “Sayangnya nggak ada balon ukuran 250 ml, kalau ada gua pasang balon lagi, biar bukaan nambah. Padahal, tapi pagi sudah bagus sekali, dari 1 langsung 3. Cakep banget deh bukaannya. Sekarang dia lambat lagi. Sabar ya, sayang, kita tungguin aja, nanti juga lahir.”

Lalu dokter memberi pengarahan ke suster sambil menerangkan anencephaly tidak terjadi penekanan dan tidak ada kontraksi yang bertambah untuk ibunya. Dokter sempat bercandain satu suster yang sedang terkantuk-kantuk, dia menyanyikan lagu, “tidurlah, tidur, sayang, tidurlah yang nyenyak, matamu sudah lima watt, terkantuk-kantuk mau nutup…”
Suster dongkol, katanya, “Dokter, kalau kontrol ya kontrol aja, udah sana, nggak usah gangguin orang.”
Dokter tertawa, “Eh?? Lu ngomong kontrolnya pake r atau nggak.., woiii..ngantuk nih orang.”
Suster nyamber ngomong jorok, “kont**.”
Dokter langsung nyebut, “masya allah…”

Suasana jadi riuh dan riang, suster yang terkantuk-kantuk jadi segar lagi. Tiap kali dokter visit, suster-suter pada gembira karena dokternya riang, suka sekali nyanyi sambil mondar mandir. Kalau dokter lain visit, suster pada tegang dan tidak berani bertanya. Selain itu ada juga dokter lain, masih muda, internis, suka bercanda juga. Suster menanyakan obat-obatan asma buat pasien yang baru aja pulang, pasiennya si ‘babe’, panggilan suster untuk Dr. Ronald. Dokter ini menjelaskan fungsinya untuk apa saja.

“Dok, masak badanmu gede gini, tapi tulisan kecil-kecil kayak semut. Tulisan bagus dikit dong biar kebaca,” protes suster.
“Eh, dimana-mana juga yang namanya dokter tulisannya jelek, memang sengaja, malah kalau tulisannya bagus, pasiennya yang protes. Sama aja kayak gini, kenapa rambut atas selalu lurus tapi rambut ‘bawah’ selalu keriting? Coba tebak, kenapa ?”
Saya senyum-senyum menguping mereka bercanda, ternyata dimana-mana sama aja, mau dokter, mau suster, bercandanya pada jorok.
Saya sempat bertanya ke suster yang sedang hamil juga, siapa nama dokter muda itu, karena bercandanya lucu. Lumayan buat hiburan, daripada bengong seharian di ruangan 2x2 dikelilingi tembok dan horden.
Saya menyebutnya ruang menunggu pembantaian. Jadi ingat Yesus, seperti domba yang hendak dibawa ke tempat pembantaian, sama-sama tidak berdaya, hanya bisa menunggu eksekusi.
“Dokter Yudistira,” jawab suster yang hamil itu.
“Yang badannya tinggi-gede, putih, matanya sipit, terus rambutnya berdiri?” tanya saya.
Suaranya sangat akrab di kuping saya. Teman SMA. Selama tiga tahun kami sekelas dan selalu duduk berdekatan. Pergi sekolah terkadang bareng, nebeng bajajnya, jalan kaki menyusuri sepanjang jalan toko tiga dan kemenangan, tiada hari tanpa berantem, ngambek, marahan, nggak ngomong lama, baikan, ribut lagi, baikan lagi, siapin contekan, contek-contekan ulangan, akurin pe-er, tendang-tendangan kursi, timpuk-timpukan kertas, penghapus, ngobrol, ngegosip, party, lab, karya wisata, karya tulis, living-in di kampung, retret, eks-kul, les, valentine dan pesta perpisahan. Nostal-gila.

Gayanya masih sama seperti dulu, bandel-bawel-lucu-cuek, tipikal anak bontot. Mukanya juga tidak berubah sejak SMA. Tahunya sekarang sudah jadi internis.
“Iya betul, namanya dokter Yudistira,” jawab suster.
“Kok namanya bukan Him Fong, ya? Waktu SMA namanya gitu.”
“Yang praktek di Rs Atmajaya juga kan? Tinggalnya di sekitar bandengan, kalau nggak salah?” tanya suster.
“Iya,” jawab saya. Malahan setiap keluar rumah lewatin jalan Bandengan musti lewat rumahnya, tambah saya dalam hati.

Beberapa kali bertemu di rumah sakit ini, tapi dia tidak pernah bilang sudah ganti nama, pantesan saya mengecek di papan praktek dokter, namanya tidak ada. Saya sebenarnya pengen sekali bertanya suster apa dia sudah married, apa sudah punya anak juga, tapi tidak jadi bertanya karena terbayang waktu ketemuan terakhir.
Malam itu di luar hujan lebat, Francis sudah lima hari demam. Kami akan mengambil hasil labnya, kemungkinan typhus. Jc menunggu print-out hasil lab tapi suster anak, Dr. Stephanus, sudah memanggil gilirannya. Saya jalan duluan sambil menggandeng kedua anak saya, satu di kiri, satu di kanan, plus di tengah perut buncit delapan bulanan. Saya tidak menyadari kalau dia sudah berdiri di hadapan saya. Rupanya dia sengaja menunggu saya lewat untuk meledek. “Lu hamil lagi neh? Heran.., doyan banget hamil!” katanya sambil tersenyum nakal lalu ngeloyor pergi. Ampunnnn deh, minta dijitak, tidak berubah, tidak ada basa-basi!

Saya menceritakan ke Jc, kok sudah jadi dokter masih aja begitu, beda banget ama Dr Ronny.
”Iya, kan nggak semua kayak dokter lu,” jawab Jc, “yang ramah, yang ngomongnya juga enak. Banyak lagi yang lebih suka ama dokter yang nggak pakai basa-basi, to the point, biar cepat beres.”
O, kalau cowok mikirnya gitu, yang praktis aja.
Suster hamil berkata, “Ibu enak ya, hamilnya kecil, nggak seperti saya, baru hamil tujuh bulan udah gede banget, udah berat.”
Saya tertawa. “Nanti suster kalo udah mau ngelahirin, pasti udah jago. Bisa periksa dalam sendiri,” saya meledeknya.
Lumayan deh, dari pagi sampai sore ini, sudah lebih sepuluh kali diperiksa dalam. Untungnya, dasar orang Jawa.., ini sudah anak ketiga, sudah tidak rasa sakit lagi, cuma malas aja rasanya.
“Suster pakai dokter siapa?” tanya saya.
“Kita sama. Pakai dokter Tjien,” kata suster itu kedengarannya bangga.

Saya jadi mengerti, suster di kamar bersalin yang sehari-hari bersama para dokter, mengenal dokter lebih dekat, bisa memilih dokter mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Beruntung saya tidak salah pilih dokter, pikir saya.
Di kamar bersalin, orang datang dan pergi. Ada yang cemas karena sudah kontraksi padahal baru 30 minggu, jadi ke kamar ini untuk CTG lalu pulang, ada juga yang sesak napas, asmanya kambuh, diberi oksigen dan obat-obat pereda asma, sebentar juga pulang, ada yang minta disteril, bahkan ada seorang ibu dengan anak tiga yang sudah remaja minta divagina-plastis… Wuah.

Saya juga mendengarkan pembicaraan para suster. Hampir semua bercita-cita jadi bidan dan punya praktek sendiri. Di luaran banyak bidan yang belum punya sertifikat tapi nekat buka praktek. Soalnya gaji di rumah sakit ini terbilang kecil dan kalau jadi bidan bisa menambah penghasilan sampai lima jutaan, jadi mereka pada mencari sertifikat untuk bisa buka praktek sendiri.

Bagi saya yang sedari kecil hidup di kota dan cukup mampu bayar rumah sakit, rasanya ngeri kalau harus melahirkan di bidan. Di sini, para suster tidak lebih dari asisten dokter, membantu menyiapkan alat-alat, mencatat obat, dan berada di sisi dokter dan melihat apa yang dokter kerjakan. Tapi tidak untuk praktek langsung menolong kelahiran. Bila ada yang bisa memberi lebih, kenapa tidak dicoba.

Jc tidak bisa terus-menerus berada di kamar bersalin, disamping itu tidak disediakan kursi untuk duduk, sehingga dia seringnya duduk di lantai, mojok, dibawah selang infus, itupun bingung karena kakinya panjang, duduknya serba salah. Jc menunggu saya sambil membaca koran. Dia baca terus sampai berita tidak penting juga habis dibaca. Selain itu dia searching berita di internet lewat Hp. Seharian Hp itu tidak lepas dari tangannya dan bolak-balik dicharge.

Seringnya sinyal 3G terputus, mungkin karena ruangan ini mojok dan dikelilingi tembok. Saya bilang ke Jc, sini saya SMS ke company tempat saya bekerja, menginformasikan bahwa sinyalnya 3G putus-putus. Tapi Jc melarang, jangan kasih tahu company, nanti kalau sinyalnya diperkuat, kasihan baby-baby di kamar sebelah, masih baby udah terkena radiasi. Segini udah cukup, yang penting bisa buat nelpon.

Saya meminta Jc daripada bengong menunggu koneksi internet, mendingan bantu doa koronka. Dia cuma nyengir aja, cuma mau satu kali koronka waktu jam tiga siang, jam Yesus wafat. Pernah juga Jc kepergok suster saat dia lagi duduk di ranjang dekat kaki saya, suster memberitahukan bahwa ranjangnya tidak boleh diduduki, bebannya bukan untuk dua orang.

Suster sering mengingatkannya untuk menunggu di luar sambil nonton tv, biar bisa lebih santai, karena suster sedikit-dikit memeriksa saya atau tetangga sebelah, belum lagi saat saya bolak-balik ke toilet pasti dibantu suster untuk me-nonaktifkan infus elektronik. Jc tetap bandel, dia bolak-balik menemani saya, setiap nongol ke kamar bersalin sering diingatkan suster untuk buka sandal atau untuk pakai jubah biru.

Saya menunggu sambil tiduran dan koronka, entah sudah berapa putaran, kadang pikiran dan koronka jalan sendiri-sendiri. Tidak ada yang bisa saya lakukan, selain menunggu. Rasanya seperti berada di sakratulmaut, dimana hanya bisa dilewati sendirian. Walaupun Jc berada disisi saya, memberikan rasa aman dan tenang, tapi tidak mengurangi rasa sakit atau mengurangi rasa cemas harus menjalaninya sendiri.

Saya juga berdoa untuk baby, menikmati saat-saat terakhir bersamanya, merasakan gerakannya diantara kontraksi yang tidak pernah lagi reda. Saya tidak bisa tidur walaupun lampu sudah dimatikan oleh suster agar saya bisa beristirahat. Suara suster, ketegangan menunggu, suara tetangga, membuat waktu rasanya berjalan lambat sekali.

Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya, pasangan muda dengan anak pertamanya, akan melakukan aborsi. Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi rubella. Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu. Awalnya mereka pakai Dr Ronny tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk mempertahankan baby ini. Tapi mereka tidak mau baby yang cacat, mungkin saat lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul tiba-tiba di umur 2 – 3 tahun, kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan, kata suami itu. Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana, sehingga mereka kelimpungan cari dokter sana-sini, yang mau melakukan absorsi.

Baby 15 minggu… hanya beda 2 minggu dari Ancillo sewaktu dokter menvonisnya cacat, di umur 17 minggu. Saat itu semua anggota tubuhnya sudah lengkap, sudah berbentuk manusia yang sempurna, tidak berhenti menendang dan meninju, jungkil balik di perut. Mukanya juga sudah terlihat mata, hidung, telinga bahkan bibirnya sudah bisa tersenyum.

Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka, bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya. Setelah sembuh, dua bulan kemudian istrinya hamil. Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.

Beberapa sanak saudara menelpon menanyakan kenapa diaborsi tapi mereka menceritakan dengan tenang, keputusan mereka sudah bulat. Tidak ada satu pun dari penelpon yang menghalangi aborsi ini. Mereka malah saling bertukar cerita, di bulan berapa aborsi, berapa lama dirumah sakit, berapa biayanya. Dokter bilang chance cacat 75:25. Dokter lain juga mengatakaan chancenya memang sekitar segitu.

Suami sempat marah berkali-kali ke suster kenapa istrinya harus lama diinduksi, kenapa orang lain bisa cepat pulang, kenapa dokter bilang bisa langsung pulang, pulang hari. Kemana dokter, kenapa sudah seharian tidak visit juga. Kenapa dokter tidak kasih penjelasan lebih rinci.

Suster menjelaskan dengan sabar bahwa tiap orang lain-lain, ada yang cepat pembukaannya, ada yang lambat, selain itu jalan lahir tidak bisa buka dengan cepat karena baby masih kecil. Berbeda dengan baby yang sudah siap lahir, baby sudah besar dan berat sehingga bisa cepat bukaan dan jalan lahir memang sudah alami dipersiapkan, mulut rahim pun sudah lunak. Bapak musti sabar, kasihan istrinya kalau bapaknya tidak sabar.

“Iya, saya marah-marah karena kasihan lihat istri saya, seharian dia kesakitan,” kata suami itu dengan nada tinggi. “Sekarang mulai panas badannya. Udah kasih tahu dokter belum, istri saya panas?”
“Saya ngerti, bapak sabar ya, tadi dokter sudah instruksi obat buat turunin panasnya. Ini sudah maksimal induksinya. Dimana-mana pasti sakit, kalau nggak sakit, nggak mulas, nggak kontraksi, nggak akan ada bukaan, bagaimana baby bisa lahir, memang begitulah jalannya. Sekarang bapak tinggal dulu istri bapak, biar dia tidur, istirahat, perjalanan masih panjang, ini seharian baru bukaan 1. Biasanya sampai bukaan 10, tapi karena ini babynya kecil, nggak perlu sampe 10 udah bisa lahir. Kita tunggu aja ya, dokter sebentar lagi kemari.”
“Kenapa sih harus di induksi segala, nggak bisa langsung kuret aja?” tanya suami itu masih dengan nada marah-marah.
“Kuret kalau babynya masih kecil sekali. Lha, ini kan sudah 3 bulan lebih, sudah lengkap semua, sudah sedikit besar, menempelnya juga sudah kuat, memang prosesnya seperti melahirkan normal, musti ada pembukaan dulu.”

Istri mulai demam. Sesekali terdengar rintihan kesakitan diantara isak-tangisnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga istri tambah demam sehingga aborsi bisa ditunda atau batal sekalian. Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit dan mulas sekali. Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya. Ada satu baby lagi yang berada di sakratul maut, karena orangtuanya takut cacat. Saya mendoakan koronka untuk baby ini, saya memberi dia nama Ruben, walaupun saya tidak yakin doa saya ini dapat membatalkan rencana aborsi mereka, paling tidak saya berdoa untuk Ruben di saat menjelang kematiannya. Saya berkata, Tuhan beri saya kekuatan untuk bilang jangan diaborsi. Tapi Tuhan membisu, membiarkan semuanya terjadi.

Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata, “Babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat, babynya buat saya saja.”
Saya sendiri kaget, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut saya. Saya yang menginginkan baby, malah cacat dan pasti meninggal, mereka yang ada chance baby normal, malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.
Suaminya menjawab, “kita juga berdua sayang anak-anak, tapi kasihan kalau dia cacat, lebih baik dari kecil kita aborsi. Kita nggak nyangka dia kena rubella. Dokter bilang dia 75% cacat.”
“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga tapi babynya nggak masalah, normal-normal aja, malah sekarang sudah TK,” jawab saya, jantung saya berdetak sangat kencang.
“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita kan nggak tahu?” kata suami.
“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup, kalau boleh.. , baby itu boleh untuk saya?”

Andaikan boleh, terpikir oleh saya, dia akan jadi baby yang membawa luka batin sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh kalau ada yang menyayanginya. Suami itu hanya nyengir. “Kita senasib dong. Putusan kita sudah bulat kok.”

Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan. Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera. Tiba-tiba kesedihan yang mendalam menghampiri saya. Begitu mudah manusia membunuh babynya, padahal masih ada chance untuk normal. Saya jadi mengerti kenapa sampai sekarang patung Maria sering menangis, bahkan sampai mengeluarkan air mata darah, pasti karena Maria sangat sedih. Dia yang begitu mencintai bayi-bayi sejak mereka dalam kandungan, merasakan sakitnya baby dicabik-cabik, dibuang oleh kedua orang tuanya, dibunuh oleh orang dewasa.

Saya lalu rosario, menghibur Maria dan meminta maaf saya tidak mampu mencegah apapun untuk baby itu, mulut ini tidak pernah dilatih untuk berkata-kata mengenai Tuhan.
Saat Jc masuk, dia bingung melihat saya menangis. “Kenapa, kenapa?” tanyanya cemas.
“Nggak.., cuma mau pilek,” jawab saya berbohong.
Jc tidak bertanya lagi. Dia cuma berdiri di samping saya, memandang saya, mungkin dia berpikir saya sedang babyblue. Kalau saya cerita, pasti saya diomelin Jc karena ikut campur urusan orang lain.

Hari semakin larut, jam 9 malam belum ada kemajuan, masih tetap bukaan 4. Dokter menelpon tiap jam, sepertinya dia juga cemas, bagaimana kalau baby tidak bisa lahir juga. Suster juga mulai cemas, mulai membicarakan dokter.

“Kenapa sih dokter nggak caesar aja, kan ibunya kasihan, kecapean kalau kelamaan gini.”
“Stt…,” seorang suster mengingatkan untuk memperkecil volume suara. “Ini nggak bisa dicaesar atau pakai epidural, ibunya punya riwayat HPP, pendarahan waktu melahirkan anak kedua. Makanya dokter hati-hati sekali.”
“Kadang nggak abis pikir ama dokter,” sahut seorang suster, “di satu sisi dia religius banget, di satu sisi kadang caranya sulit diterima..”

Saya bingung, apa hubungannya religius dengan caesar ya. Mungkin cuma obrolan biasa, kan suster yang mengenal dokternya. Tiba-tiba terdengar bunyi telpon, suster menanyakan ke pasien yang baru saja selesai kontrol sudah bukaan berapa. Apakah sudah mulas-mulas? Si ibu menjawab belum bukaan dan belum mulas. Tapi dia yakin akan melahirkan malam ini.

Suster menyarankannya ke kamar bersalin untuk di CTG. Si ibu datang, seorang yang cerewet tapi riang gembira. Lalu si ibu langsung di CTG sambil terus mengobrol. Saat itu belum ada bukaan. Suster bertanya kenapa dia begitu yakin akan melahirkan malam ini juga. Si ibu menjawab karena anak pertamanya enam jam sudah lahir, ini anak kedua pasti lebih cepat, gejalanya sama, ada kontraksi sebentar-sebentar.

Setelah setengah jam CTG, suster memeriksa lagi, sudah pembukaan 3! Mereka tertawa, wah benar juga ibu ini, malam ini bisa lahir kalau bukaannya loncat, kata para suster. Merekapun bercanda sambil suster mengisi form administrasi menanyakan umur ibu, suami, anak pertama dll.

Tak lama, seorang dokter menelpon, menanyakan apakah pasiennya sudah sampai ke kamar bersalin. Dokter mengatakan dia sudah selesai praktek dan akan segera pulang. “Jangan pulang dulu ya, Dok,” kata suster, “sepertinya akan lahir malam ini juga. Tunggu tiga menit ya, mau periksa dalam lagi.”

Buru-buru suster memeriksa lagi, sudah bukaan 7! Si ibu masih mengobrol kadang tawanya tertahan saat mulas datang. Suaminya menyusul, membawakan guling bayi kesayangannya, katanya istrinya tidak bisa tidur kalau tidak ada guling tersebut. Saya tersenyum, lucu, seperti Vincent, sudah umur enam tahun tapi masih tidur dengan guling bayinya. Suster menelpon dokter, “Dok, masih di ruangan atau di parkiran? Ayo balik, Dok, udah bukaan 7. Udah mau lahir.”

Tidak sampai lima menit dokter muncul, menyapa semua suster dan menanyakan apakah mereka mau makan sate. Semua setuju dan pesan 50 tusuk sate, 10 sate untuk dokter tidak pakai cabai dan lontong. Dokter bilang, tadinya dia mau makan seafood di Muara Karang. Sementara itu, dokter mengobrol dengan suaminya yang pengusaha alat-alat salon.

Selagi asyik mengobrol, sate baru dipesan, suster laporan lagi kalau bukaan sudah lengkap, pasien sudah di kamar tindakan. Dokter bilang enak kalau pasien kayak begini semua, katanya ke suami. Suaminya segera keluar, tidak berani menemani istri, takut pingsan. Lalu terdengar suster mulai ramai memberi semangat, hayo ibu, kepalanya sudah keliatan, rambutnya banyak. Ibu itu terdengar mengedan 2-3 kali, tidak terdengar suara tangisan atau teriakan, hanya usaha kerasnya. Lalu perlahan kepala bayi keluar, lalu suster memberi semangat sekali lagi untuk ngedan yang kuat, untuk keluarkan bahu baby. Tak lama terdengar baby menangis keras. Ibu itu pun tertawa riang gembira, enak, lega, sudah berlalu sakitnya.

Baby laki-laki, berat 3,2 kilo, panjang 50 cm. Berlari-lari suster memanggil suaminya, memberitakan kelahiran anak kedua. Lalu terdengar suster sibuk membersihkan bayi, suara tangisnya keras sekali, suster juga menelpon dokter anak, mencari dokter yang masih stand-by malam itu sekitar jam 10 malam. Tak lama, suami dan dokter mengobrol lagi sambil menunggu sate yang belum juga dianter ke kamar. Suami sudah mendapat kamar di VIP. Istri bilang mau menunggu di kamar aja, lebih enak, nanti kalau perlu apa-apa mereka akan panggil suster. Biasanya pasien ditahan dua jam untuk pemulihan. Dokter mengijinkan. Keluarga besar sudah berkumpul di luar, memberi selamat untuk kelahiran baby.

Saya ikut lega, menyenangkan sekali kalau bisa menggendong baby sekali lagi, mendengarkan suara tangisannya yang keras atau merintih-rintih atau melihatnya tertidur seperti malaikat. Apakah saya juga punya kekuatan menahan sakit seperti ibu itu, tidak berteriak sekalipun saat melahirkan, apakah akan datang saatnya, dimana saya harus maju sudah gilirannya. Jc menunggu di kamar 209 yang sudah dipesan dari pagi. Kamar itu kosong seharian. Dia stand-by disana. Mungkin tidur-tiduran.

Mama saya ngotot mau ikut bermalam di rumah sakit, dia begitu takut saya akan kenapa-kenapa. Bayang-bayang pendarahan seakan mengatakan saya akan mati saat melahirkan kali ini. Saat pendarahan yang lalu, mama saya mengatakan wajah saya sepucat mayat. Saya sendiri juga bertanya-tanya, apakah hari ini adalah hidup saya yang terakhir. Kalau memang terakhir, saya musti bagaimana. Dua bocah menunggu di rumah. Mereka sangat menantikan saya kembali dengan membawa adik baby yang ditunggu-tunggu. Saya punya keyakinan, pada akhirnya tiap manusia harus menghadapi kematian seorang diri, anggap aja proses melahirkan ini latihan menghadapi kematian. Yesus sendiri berjanji akan berada di sisi orang-orang yang percaya padaNya, untuk menjemputNya. Saya sama sekali tidak takut menghadapinya mungkin karena tidak ada jalan lain.

Suami tetangga juga diperbolehkan pulang, agar istri bisa istirahat. Istrinya tidak mengijinkannya, meminta supaya suaminya menunggu di luar aja, tidur di kursi. Tapi suami malah kesenangan diperbolehkan pulang, dia bertanya ke suster, “Kalau istri saya kenapa-kenapa, saya pasti ditelpon, kan?”
“Iya, pasti dong,” jawab suster. “Kan sudah ninggalin no Hp, nomer rumah, pasti ditelpon, nggak usah takut.”
“Tuh, suster aja bilang boleh pulang. Besok gua datang lagi ya, Sayang.”
“Jam 7 pagi bapak sudah harus disini,” suster mengingatkan.
“Kok pagi sekali, Sus? Jam 10 aja ya? Saya bangunnya siang, mana bisa bangun pagi-pagi?” tawar suami.
“Bapak,” suara suster hampir habis sabar, “istri bapak sedang berjuang disini, bapak kalau sayang sama istri bapak, jam 7 sudah disini.”
“Iya deh, kalo bangun,” sahutnya tidak sabar bergegas pergi.
“Pokoknya musti bisa bangun, aku miss-call terus,” kata istri sambil menangis.

Jam 10 malam dokter menelpon suster lagi, menanyakan pembukaan saya. Suster bilang masih sama. Lalu dokter berpesan agar induksi saya distop dulu, ganti infus biasa. Saya diistirahatkan dulu, kalau dipaksa lagi bisa pendarahan. Lalu saya disuruh balik ke kamar biasa, supaya bisa istirahat yang tenang karena kalau di ruang bersalin tidak bisa istirahat, banyak kejadian disini. Besok pagi jam 7 mulai lagi berjuang.

Saya hanya bisa bilang, Tuhan, sudah dong bercandanya. Saya set tiga tanggal, semuanya meleset. Hari ini meleset juga, padahal pas hari St. Bernadeth. Akhirnya saya kembali ke kamar untuk istirahat. Hampir sama seperti saat melahirkan Vincent dulu, seharian di kamar bersalin, balik ke kamar lalu seharian lagi di kamar bersalin. Vincent lahir sedikit kepagian, umur 37 minggu karena pecah ketuban, jadi dokter menahannya dua hari untuk mematangkan paru-parunya.

Mama dan adik saya lalu pulang, tidak jadi bermalam. Setelah mengobrol selama satu-dua jam dengan Jc, saya pun tertidur, sebentar-sebentar terjaga. Kiranya waktu bersama baby tinggal sesaat lagi, semakin pendek. Saya benar-benar menikmati saat-saat bersamanya, walaupun tidak dapat saya membayangkan wajahnya, wujudnya, tapi lewat tendangannya, gerakannya, dia telah setia menemani saya berbulan-bulan. Kami melewati suka dan duka bersama-sama seperti teman sehati. Kami suka bercakap-cakap dalam doa, dia selalu bangun, seakan bilang, saya menemani mama. Ranjang saya pun basah dengan air mata.

Pikiran saya melayang. Sudah sejauh ini saya berjalan, sudah sembilan bulan lebih… waktu yang tiba-tiba terasa begitu singkat. Sayang sekali rasanya sudah mengandungnya sekian lama, tapi baby tidak bisa dibawa pulang. Saya sampai tidak bisa bernapas lagi karena hidung berair, seperti pilek yang sangat berat sehingga harus bernapas dengan mulut.

To be continued ...

0 comments: