In Memoriam, Ancillo Dominic - IV

Jam 5 pagi, dua orang suster datang untuk tensi, saya hanya memberi tangan saya untuk tensi dan tidak melihat suster tersebut. Saya menyembunyikan wajah saya yang pasti sembab. Tensi normal, lalu suster yang satu lagi mendopler jantung baby, stabil. Lalu saya sarapan dan bersiap-siap karena suster sebentar lagi akan menjemput.

Belum jam 7 suster sudah datang dengan kursi roda, membawa saya kembali ke kamar bersalin di lantai yang sama.

Suster yang tadi malam masih sama, menyapa saya dengan ramah. “Bisa tidur? Hayo kita berjuang lagi ya, moga-moga hari ini bisa lahir.”

Saya membalas senyumnya, pasrah. Suster memeriksa pembukaan, masih 4, dan dopler bagus. Suster mengganti infus biasa dengan infus induksi.

Sepagian para suster ramai sekali, semuanya terdengar ceria, rupanya jam pergantian shift. Pasiennya juga hanya saya dan tetangga. Bukaannya sudah mencapai 3, sudah tidak panas lagi. Saya mendengarnya sedang menangis.

Terdengar suster mengobrol. “Kemarin malam Dr. Tjien praktek sampai jam berapa?”
“Tengah malem deh,” jawab seorang suster.
“Yee…tepatnya jam berapa dong?” suster lain menimbrung.
“Jam setengah satu, pasien terakhir,” jawabnya santai.
“Masa sih?” potong seorang suster. “Padahal jam 6 kurang, saya nelpon untuk bangunin dia, operasinya dimajuin jam 6.30 karena dokter anak bisanya lebih pagi. Eh begitu saya mau ganti baju dinas di ruang prakteknya, jam 6, dia sudah duduk di kursinya, senyum-senyum, seger banget, seneng dia bisa ngangetin orang. Saya sampai loncat saking kagetnya.”

Semua suster tertawa. “Apa dia nggak tidur ya? Dia itu orang atau bukan sih? Kok kuat banget, nggak ada capenya.”
Obrolan pagi yang menyegarkan.

Tidak lama suster menghampiri saya, “Ibu, saya periksa dalam dulu ya.”
“Lha, barusan udah. Masih sama, 4,” kata saya sedikit protes.
“Ini pergantian shift, jadi harus ada serah terima.”
Ampun, pikir saya dalam hati, mau gimana lagi. Setelah periksa, suster bilang sebentar lagi dokter visit, jadi boleh istirahat lagi, simpan tenaga dulu.

Terdengar di kamar tetangga, istri berkata ke suaminya, “Gua mau pulang aja. Daripada gua dan baby kesakitan, mending nanti aja pas sembilan bulan, sakitnya sama.” istri makin keras menangisnya, gelisih sekali.

Suaminya malah membentaknya. “Terserah lu deh. Dulu, siapa yang bilang mau aborsi? Lu berani tanggung akibatnya? Lu mau kita berdua susah? Gua sih nggak mau. Udah deh, nggak perlu nangis-nangis gitu. Lu kalau mau pulang, ayo pulang sekarang. Nggak usah tunggu dokter, kita langsung bilang suster mau pulang sekarang juga.”

“Gua bingung…,” kata istri perlahan, tangisnya makin kencang.
“Nggak usah bingung-bingung,” kata suami tambah marah.
“Gimana dong? Perut gua sakit sekali. Gua nggak tahan lagi kalau harus tunggu bukaan lagi. Gua mau pulang… mau pulang…pokoknya mau pulang..”
“Sus!” teriak suami dari dalam kamar tidak sabar. “Sekarang gimana? Istri saya mau sampai kapan ditahan disini? Kasih saya penjelasan dong. Mau tunggu sampai bukaan berapa ? Dokter mana, pagi ini visit jam berapa?”

Di depan semua suster membisu, suasana tegang. Tidak lama ada seorang suster menghampiri suami itu. “Bapak sabar ya, sebentar lagi dokter visit, tadi sudah nelpon.”
Lalu suster itu buru-buru keluar lagi, tidak berani berlama-lama di hadapannya.

Dalam hati saya bilang, jangan aborsi, jangan aborsi, ayo masih keburu, ayo fight. Sepertinya istri mulai berubah pikiran untuk mempertahankan babynya. Tidak lama terdengar dokternya datang.

Akhirnya saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya selama ini. Saya ingin sekali menanyakan ke Dr. Ronny, sekiranya waktu itu saya mau aborsi, dokter siapa yang akan dia rekomen. Tapi saya tidak berani bertanya, mungkin juga selamanya dokter tidak mau menjawab. Dokter mana yang hati nuraninya sudah tidak peka lagi. Soalnya dari semua dokter di rumah sakit ini, semuanya saya pernah lihat. Karisma dokter selalu membuat saya terpesona.

Suara dokter itu sangat familiar di kuping saya. Vincent diplanning olehnya tujuh tahun lalu. Juga, sehari sebelum Francis lahir, saya sempat kontrol ke dia karena dokter Yani sedang cuti panjang. Kenapa hari ini suaranya terdengar begitu dingin. Saya menggigil. Saya menarik selimut tebal menutupi leher. Saat eksekusi semakin dekat.

Kemarin siang saat dari toilet, saya sempat bertatapan dengan dokter ini, jaraknya berdiri kira-kira lima meter dari saya. Saya berada di ruang tindakan di pojok kanan sedangkan dia berdiri di tengah-tengah ruangan. Auranya menyebar ke seluruh ruangan. Kaki saya langsung berhenti melangkah. Berdiri tak bergeming di sana. Kenapa tampangnya begitu gelap? Kenapa saya ketakutan melihat dia?

Begitu dokter melihat saya, dokter langsung memanggil suster, suaranya penuh wibawa, “Suster, itu ada pasien, kenapa dibiarkan sendirian ke toilet? Bawa-bawa infus lagi.”

Seorang suster berlari tergopoh-gopoh menghampiri saya, mengambil alih botol infus yang saya pegang, membantu memegang belakang baju saya yang sedikit terbuka, menggandeng sebelah tangan saya. Barulah saya berani melangkah.

Saya gemetar melewati dokter, was-was. Matanya yang tajam menatap saya, mengikuti langkah saya. Semoga dia tidak ingat saya pernah jadi pasiennya, kata saya dalam hati.

Dokter memeriksa pembukaan. “Oke,” kata dokter singkat. “Bukaan 3. Cukup. Pindah ke kamar tindakan,” suaranya seakan memerintah para suster.
“Sebentar lagi kuret,” kata dokter pada suami. “Sekarang lagi disiapin alatnya.”
“Pagi ini juga, Dok?” tanya suami antusias. “Berarti siang ini boleh pulang?” tanyanya lagi, penuh harap. Penantian panjangnya segera berakhir.
“Iya. Siang ini boleh pulang,” jawab dokter pendek, seperti enggan berbicara, harus melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disukainya, tapi terpaksa harus tetap dilakukannya juga. Harus ada satu orang, untuk mengeksekusi tindakan ini. Dengan demikian, roda rumah sakit ini dapat terus berputar. Lalu suster menghantar suami itu sampai ke pintu keluar, katanya, “Bapak tunggu di depan sampai selesai tindakan ya, jangan jauh-jauh, jangan kemana-mana.”

Suster tendengar menyiapkan peralatan, suara besi-besi kecil beradu, ada juga suara suster berlari-lari mencari alat yang biasa dipakai dokter ini, terdengar suaranya cemas, siapa sih yang pinjam alat si dokter dan tidak mengembalikannya di tempat semula. Sebelum kena marah dokter, alat itu harus sudah ketemu. Suasana tegang.

Istri terdengar melangkah lunglai, perlahan memasuki kamar tindakan, masih terdengar isak tangisannya tertahan. Kenapa waktu tidak dapat berhenti atau diputar mundur, kembali ke masa pacaran yang indah.

Sapu tangan tebal yang sejak semalam menutup dahinya supaya tidak silau terpapar sinar lampu yang berada tepat diatas kepalanya, sempat juga buat kompres saat panas tinggi, digenggamnya erat-erat, terasa setengah basah, sudah buat lap airmata dan ingus, terlihat lusuh, jadi saksi bisunya.

Saya hanya bisa berdiam diri, bersembunyi di balik horden abu-abu tebal yang tinggi, tertutup rapat hingga tidak ada celah sedikitpun untuk mengintip, semua begitu mencekam. Saya menangis diam-diam. Perih sekali rasanya. Jangan dibuang.., jangan dibunuh.. Namun, seberapa kuat saya berteriak dalam hati, mulut ini terkunci rapat. Siapa berani bersuara di saat begini? Air mata saya mengalir terus. Tuhan, dimana Engkau? Bukankan Engkau ada dimana kehendakMu terlaksana? Apakah ini juga kehendakMu?

Bunda, jangan menangis lagi. HatiMu sudah cukup lama berduka hebat. Sesosok bayi mungil akan dipaksa lahir, dicabik-cabik, diremas, diperas, disakiti sedemikian parah, hingga sosoknya tidak lagi berupa malaikat kecil yang dikirim Tuhan ke bumi. Kemana dia dapat berlari, kemana dia dapat bersembunyi, kemana dia dapat meminta tolong?

Seperti sebuah kisah tentang bayi dan malaikatnya, kali ini malaikat pelindung mengikari janjinya sendiri, malaikat pelindung surga itu telah berkata bohong padanya. Kata malaikat itu sesaat dia meninggalkan surga menuju bumi, bahwa akan ada malaikat lain yang akan melindunginya di bumi, taman mirip surga, yang akan mengajarinya bahasa bumi yang tidak dimengertinya, bahasa paling indah yang akan pernah didengarnya, puisi penuh makna cinta, bahwa malaikat itu akan melindungi dirinya walaupun tahu dapat membahayakan nyawa malaikat itu sendiri, malaikat yang akan menemani sepanjang hidupnya di bumi, menjaganya, merawatnya, memberinya kehangatan, mendekapnya, mengajarinya segala hal yang indah-indah, malaikat yang akan menunjukkan jalan kembali ke surga, malaikat yang akan dia panggil ‘Ibu’.

Namun rahim ibunya sekarang, tempat perlindungannya yang paling aman dan nyaman, yang telah membuaikan tidurnya selama berbulan bulan dengan mimpi indah berceritakan kasih sayang, tempatnya menggantungkan harapan akan sebuah kehidupan baru yang akan membuatnya takjub, akan segera dilewati oleh bilah pisau yang tajam mengkilat, menyayatnya sedikit demi sedikit mulai dari kaki tangannya, perutnya, dadanya, menikam jantungnya, kemudian mengikis paru-parunya yang selama ini merindukan udara pertama, menghancurkan anggota-anggota tubuhnya yang hampir terbentuk sempurna, mengiris satu-persatu dagingnya, mematahkan tulangnya, mengoyakkan nadinya, merampas jiwanya perlahan sampai seutuhnya terhempas, kemudian menyeretnya keluar tak dibiarkan bersisa sedikitpun.

Siapakah yang akan mendengar dia menjerit kesakitan? Siapa yang peduli? Salahkah aku bila terlahir cacat?

Saya tidak dapat bernapas, saya berusaha keras menghirup sebanyaknya udara yang pekat dan menyesakkan ini dengan mulut terbuka lebar, lalu membuangnya sedikit-sedikit, begitu perlahan, takut suaranya kedengaran keluar. Tidak lama semua suara lenyap. Pintu kamar tindakan ditutup rapat-rapat, tidak dibuka lebar seperti biasanya. Kengerian memenuhi seluruh ruangan. Sunyi. Hampa. Bahkan tidak ada seorang suster pun yang berani bersuara. Berduka.

Seorang bayi tak dikenal, bukan anak, bukan saudara, mati di hadapan semua. Kemudian disemayamkan di dalam sebuah plastik kresek hitam murahan. Wujudnya tinggal berupa potongan-potongan tubuh berwarna-warni, merah nadi, putih tulang, ungu hati, kuning plasenta, tinggal dijinjing dibawa pulang orang tuanya, mau dikremasi atau di kubur, sama saja, sudah berada di luar dimensi yang bernama kehidupan.

Satu jiwa tak berdosa kembali ke surga di tangan orang dewasa yang berprofesi mulia, berjubah putih mengkilat sama mengkilatnya dengan pisau yang dipakainya untuk membunuh, seperti yang diminta oleh orang dewasa yang menyebut dirinya orang tua, yang rela membayar harga ini dalam bilangan jutaan rupiah, yang mengenyahkannya demi sepotong harapan tidak ada kesusahan berkepanjangan di masa depan, yang takut menerimanya baik cacat maupun tanpa cacat, yang tidak mengharapkannya.

Seketika itu juga malaikat pelindungnya datang dari surga menjemputnya, karena malaikat lain di bumi telah ingkar akan janjinya untuk menunjukkannya jalan kembali ke surga. Saya koronka, hanya doa yang bisa menemani Ruben kembali ke sisi yang ilahi.

Tiba-tiba, seorang suster mengejutkan saya, menjengukkan kepala dari balik horden, “Ibu…,” bisiknya hampir tak terdengar, “dokter sudah mau visit..”
Set,set,set,set terdengar suara kaki dokter yang bergerak cepat. Bruk, terdengar pintu terbuka lebar.

“Selamat pagi!” sapa dokter riang gembira, memecah keheningan ruangan.
Sapaan dokter kali ini tidak ada yang menjawab. Mungkin juga tidak ada yang menoleh. Suster-suster masih mematung. Membisu.

Dari tengah ruangan dokter berseru dengan semangat, “Yenny, lu yang dimana?”
Dokter menunggu jawaban di antara tiga ruangan berhorden.
“Paling pojok, Dok, dekat tembok,” kata saya.

Dokter celinguk.
“Gimana, sayang, lu bisa tidur semalem?” tanyanya sambil tersenyum. “Habis bukaan lu nggak maju-maju, mending lu diistirahatkan dulu. Hari ini kita coba lagi. Sini, gua periksa.”
Seorang suster buru-buru menyusul masuk, soalnya Dokter terlalu gesit, mendahului susternya.

“Eh?” dokter menatap heran begitu melihat wajah saya dari dekat. “Kenapa lu? Pilek ya?” tanyanya cemas.
“Iya nih, tiba-tiba pilek..” padahal mata saya pasti sembab, habis menangis barusan. Lalu saya menarik turun bantal kepala, menutupi sprei yang basah airmata.
“Sus, ” pesan dokter, “abis ini langsung kasih Yenny clarinase ya, 2x1 ya.”

Dokter langsung memeriksa, masih bukaan 4, setelah menekan perut saya sana-sini, mendorong baby untuk lebih turun lagi, dengan sedikit kecewa katanya, “hari ini kita coba induksi, kalau sampe siang belum nambah juga, lu pulang dulu deh, jalan-jalan dulu, seminggu balik sini lagi. Baby belum mau lahir, kita juga nggak bisa paksa. Lu juga nggak bisa dinduksi terus, ini sudah maksimal, percuma juga kalau nggak nambah bukaan. Jadi biar dia alami aja. Mulut rahim juga masih tebal banget. Nah, nih kencang lagi, tapi nggak mau nambah. Sakit?”

“Nggak. Kalau hadap tengah berasa sakit dikit, kalau miring, nggak sakit sama sekali. Mungkin musti setengah duduk kali, Dok, biar baby lebih nekan ke bawah,” kata saya.
“Oya?” alisnya terangkat, dahinya berkerut, dokter langsung menyetujuinya. “Oke, kita coba.”
Suster segera memutar tuas di ujung ranjang menaikkan bagian kepala sehingga posisinya setengah duduk.
“Coba baby mau muter pantat dulu..,” kata dokter sambil berpikir keras. “Mustinya lebih ada penekanan. Sekarang kepala di bawah, lebih susah dia mau nekan. ”
“Kalau ketubannya dipecahin, Dok?” tanya suster. “Lebih gampang nggak?”
“Jangan,” jawab dokter cepat. “Justru ini bagus, masih ada ketuban, dia lebih berat, nanti lahir lebih licin. Kalau ketuban dipecahin, penekanan berkurang, lahirinnya juga lebih susah.”

Lalu dokter kasih instruksi ke suster untuk menaikkan induksi jadi 40. Saya kaget campur bingung karena dokter menyuruh pulang lagi. Padahal saya berharap pagi ini dokter akan bilang kita caesar aja atau kita coba epidural. Frustasi sudah 24 jam masih pembukaan 4. Kalau pulang rumah, repot juga, kalau kenapa-napa, siapa yang mengantar ke rumah sakit, Jc musti ngantor, tidak bisa temani saya lama-lama. Lagian, mau jalan-jalan kemana dengan bukaan 4 ini, atau masuk kantor lagi. Bisa kacau.

Baru setengah jam dengan posisi setengah duduk, jam 9.30 tiba-tiba ketuban pecah. Saya sempat kaget dan berteriak kecil, “Auuu…”
Bukan karena sakit, tapi seperti balon yang berisi air panas tiba-tiba pengikatnya ditarik, terbuka dan tumpah.

Jc yang lagi asyik mojok sambil baca berita di Hp langsung loncat berdiri, panik, “Ha? Kenapa? Kenapa?”
“Ketubannya pecah, banjir. Lu keluar dulu, mau manggil suster, entar gua call ya kalau udah beres.”
Jc buru-buru keluar sebelum suster datang, dia masih khawatir.
“Sus,” panggil saya. “Ketubannya pecah.”
Dua orang suster langsung datang, seluruh badan saya dari leher sampai kaki sudah basah kuyub. Lalu suster menolong saya menggantikan baju, mengganti sprei dan selimut. Seorang suster lain langsung menelpon dokter memberi kabar. Tak lama, seorang suster lain datang, mengepel lantai, karena basah kemana-mana, tumpah-ruah. Perut langsung mengecil, lebih ringan.

Setelah rapi dan bersih semua, Jc diperbolehkan menemani saya lagi. Dia kembali duduk di pojokan, tangannya tidak bisa lepas dari Hp searching berita. Bosan juga dia menunggu, koran hari ini juga sudah habis dibacanya.

Saya memintanya menghitung mulas saya pakai stopwatch dengan Hp, tapi karena dia tidak konsen, jadinya timingnya juga tidak pas, akhirnya dia menyuruh saya coba stopwatch sendiri. Jadilah saya main stopwatch, menghitung mulas, tahunya sudah dua menitan.

Jc membantu memberi saya minum pakai sedotan karena mulut saya kering terus. Saat kontraksi datang, saya membuang napas perlahan melalui mulut. Hampir tiap lima menit saya minum seteguk air. Saya sudah tidak boleh sendiri ke toilet lagi, karena sudah pecah ketuban, terpaksa pipis di ranjang, pakai pispot.

Jam 11 siang, bukaan bertambah, jadi 5.

Baby sudah muter tanpa saya sadari. Mungkin baby mendengar kata-kata dokter tadi pagi, suster yang memeriksa bukaan menunjukkan satu tangannya penuh mekonium baby, ee pertama baby, warnya hijau kehitam-hitaman.

“Nggak mungkin,” kata saya. “Masa muter, kapan dia muternya? Kok nggak terasa?”

Suster berkeras kalau memang mekonium itu diambilnya dari pantat baby. Lalu suster melapor ke rekannya yang lain, suster lainnya juga tidak percaya kalau baby mutar, kata mereka belum pernah ada kejadian baby di kamar bersalin masih mau mutar, apalagi ini sudah masuk 42 minggu.

Saya masih sempat SMSan dengan beberapa teman kantor mengabarkan bukaan. Tadi saya sempat bercanda, kalau disuruh pulang seminggu nanti saya ke kantor aja, biar deket ama Jc yang kantornya hanya di depan mata, bisa jalan kaki. Teman saya malah balas SMS, katanya, belanja mainan aja di Pasar pagi. Mereka ikut deg-degan mengikuti proses melahirkan normal.

Karena sering bernapas dengan mulut, tenggorokan saya terasa kering dan membuat saya kesedak batuk-batuk. Ketika batuk yang kencang sekali, air ketuban keluar lagi lumayan banyak sehingga baju saya basah semua. Kembali suster menggantikan seprei dan baju saya lagi, kali ini baju saya kotor karena air ketubannya sudah tercampur dengan mekonium baby.

Saya akui, suster di rumah sakit ini baik semua, sabar, tidak seperti di rs lain. Sewaktu saya melahirkan Francis, saat pendarahan, saya sendirian di kamar, karena Jc tidak diperbolehkan menemani setelah lewat pemulihan. Seorang suster malah memarahi saya. “Ibu, kalau mau ee jangan sembarangan dong, kan saya jadi repot.”

“Rasanya bukan ee, Sus, keluarnya beda,” kata saya lemah, karena masih ada pengaruh epidural setelah melahirkan, jadi saya tidak tahu cairan apa yang keluar memenuhi ranjang saya.

Begitu suster menggantikan alas tidur saya, saya sempat melihat bahwa itu darah segar, bukan ee, banyaknya sekantong plastik besar. Tidak lama darah keluar lagi, sebanyak yang pertama. Saya sempat memanggil suster itu dan bilang, ”Sus, sorry, kayaknya keluar lagi…”

Suster marah-marah, katanya, “Ibu tahan dong ee-nya..” Setelah itu saya tidak mendengar apa-apa lagi, tiba-tiba tidak sadarkan diri. Saya kapok melahirkan di rumah sakit itu. Di sini berbeda, suster menggantikan selimut saya juga walaupun kena air ketuban sedikit, saya melarang suster menggantinya, sayang, baru saja diganti.

Tapi suster bilang, biarin diganti aja, nanti dokter marah kalau tahu. Biar ibu rapi, ranjang rapi, jadi kalau dokter visit, juga enak lihatnya.

Jam 12.30 mulas mulai sering terasa. Makan siang sudah tersedia. Lalu saya makan disuapin oleh Jc, disela-sela mulas. Jc ikutan makan, dia kelaparannya lagi. Menunya begitu menggoda. Satu jam sebelumnya dia sudah makan bihun goreng di bawah, tapi buru-buru. Lagian makanan di bawah kurang enak.

Jadinya saya makan satu sendok, buru-buru menelan, lalu saya akan mengeluarkan napas panjang dan suara ‘aaa..aa’ kecil-kecil menahan sakit.
Saya berpikir kalau sakitnya sampai lahir segini aja, masih bisa tahan. Ketika mulasnya lewat, saya pasti berkata, “ah, leganya… ayo cerita lagi, ayo makan lagi, suapin lagi.”

Seru. Berlomba dengan waktu.

Bistik ayamnya enak sekali. Supnya juga enak, enak semua, ada pudding pink juga. Saya makan setengah piring, cukup banyak juga karena takut tidak ada tenaga. Mulas datang tiap menit, lamanya sekitar 30 detik baru pergi. Saya masih sambil main stopwatch. Abis itu saya SMS ke teman bilang bahwa SMSnya stop dulu, karena sudah mulai mulas. Tidak keburu ketik SMS lagi, belum send udah datang lagi mulasnya. Saya coba mengatur napas seperti yang saya baca di buku-buku.

Ternyata buku banyak bohongnya, saat mulas datang, mau tarik napas panjang atau tarik napas dikit-dikit atau buang napas panjang, sakitnya tidak berkurang, cuma bisa menahan sakit sampai dia pergi sendiri. Induksi sudah dinaikkan ke 60 sejak pembukaan 5, tetesannya mengalir cepat. Selesai makan, suster memeriksa pembukaan lagi, sudah hampir 7, katanya riang, jadi juga lahir hari ini.

Jam 13.30 pembukaan 8, jantung baby didopler masih bagus. Suster bilang kalau kali ini dia pastikan memegang pantat dan scortum baby. Kali ini mekonium baby juga banyak, kata suster, babynya ee dulu, biar lahir nanti perutnya sudah bersih. Saat mau diperiksa dalam, saya sempat bilang tunggu sebentar, karena pas mulasnya datang, begitu mulasnya pergi baru boleh cek.

Setiap ada kemajuan pembukaan suster selalu mengabarkan dokter. Jc langsung menelpon adik dan mama saya karena sudah diwanti-wanti untuk kasih kabar kalau sudah bukaan 8, mereka mau ikut menunggu kelahiran.

Pas jam 14.00 dokter muncul dengan riang gembira, jalannya super cepat. Memang begitu gayanya. Saya teringat sewaktu Vincent diopname, saat dia bobo, saya sempat duduk-duduk di ruang tunggu anak di lantai 1 sambil nonton tv di dekat balkon. Dari sana terlihat ruang praktek dokter di hall lantai dasar. Tiba-tiba terlihat dokter bergegas keluar dari ruang prakteknya, menghilang lewat pintu samping, dalam sekejap mata dokter muncul di kamar bersalin lantai 2, tidak lama dokter menghilang, muncul lagi lewat pintu samping di lantai dasar, langkahnya begitu ringan seperti orang lari, masuk kembali ke ruang prakteknya.

Saya tersenyum sendiri waktu itu. Keren. Seperti menonton pertunjukkan sulap. Bisa menghilang. Sebentar muncul disini, sebentar muncul disana.

“Yenny, lu udah siap?” kata dokter penuh semangat. “Akhirnya mau lahir juga. Pas banget, pasien gua juga udah habis.”

Dokter yang super riang ini berjalan mondar-mandir dan mengobrol ama suster yang sedang menyiapkan kamar tindakan. Dokter juga memeriksa dan menyemangati satu pasien yang baru masuk, hendak dipasangkan epidural.

Seorang suster berdiri dengan sabar di sisi ranjang saya, katanya, “ibu, kalau mau ee bilang ya.”
“Saya belum mau ee,” kata saya.
Tapi tidak sampai semenit-dua menit kemudian saya berkata lagi, “Sus, mau ee, gimana nih?”
“Ya udah, ibu ee-in aja, nggak apa-apa.”
Saya masih bingung, gimana caranya ee, mulasnya datang berlomba-lomba dan bertubi-tubi.

Suster langsung beres-beres, melepas botol infus dari elektronik dan menaruhnya di ranjang saya, mendorong ranjang saya ke kamar tindakan. Lalu saya pindah ke ranjang tindakan. Rupanya ee merupakan tanda sudah mau lahir. Ruangan tindakan dingin sekali sampai saya tetap minta diselimuti yang tebal. Lalu kedua kaki dibentangkan. Masih dingin sekali, saya minta kedua kaki saya dililit selimut kain putih yang tipis biar hangat.

Mulas datang bertubi-tubi, ada satu yang bikin saya kesakitan sehingga saya sempat teriak kencang, “Aaaaaa…”
“Sttt, jangan teriak, ibu,” buru-buru suster memperingatkan saya. “Nanti tenaganya habis, simpan tenaganya untuk ngedan saja.”
“Sorry… lupa, habis sakit banget,” kata saya sambil mengatur napas.
Napas pendek salah, napas panjang tidak bisa.
“Sus, napasnya musti gimana biar nggak sakit?” tanya saya sambil mencengkram lengan suster erat-erat.

Beberapa minggu lalu saya sempat melihat senam hamil, untuk refresh memory saat mengedan, tapi tidak sempat latihan napas di rumah karena tiap hari dari kantor pulang malam. Boro-boro mau latihan napas. Sampai di rumah langsung diserbu oleh dua unyil kecil-kecil yang cerewet ditambah dua unyil lain, keponakan saya, yang sama cerewetnya.

“Ibu, tarik napas panjang… terus buang ‘haaaa’,” kata suster yang juga guru senam hamil.
Saya coba mengikutinnya, tarik napas panjang, tidak hilang juga mulasnya, ya udah pikir saya, yang penting masih bisa napas.

Jc berada di sisi saya. Saya selalu kehausan. Dia siap sedia memberi minum lewat sedotan. Suster mengingatkan minum hanya untuk membasahi mulut aja, jangan banyak-banyak.

Tiba-tiba kedua tangan saya tegang, kaku dan sekitar mulut saya juga baal, “Sus, kaku nih, gimana?” tanya saya.
“Ibu, jangan tegang, coba sini, tangannya pegang ini,” kata suster sambil menggiring tangan saya memegang besi untuk menarik badan saat ngedan. Mengurut-urut tangan saya.
Jc membantu menekukkan jari saya sebelah kanan untuk memegang besi itu.
“Sus, nggak berasa, urutnya kencangan dikit,” pinta saya.
“Jangan kencang-kencang, segini udah cukup, nanti tangan kamu biru-biru.”
“Nggak apa-apa, belum terasa, Sus,” pinta saya lagi.
“Nggak boleh lebih kencang lagi, biru-biru, besok baru berasa sakitnya,” jawab suster dengan sabar.

Dokter sedang memakai baju pelapisnya sambil bernyanyi-nyanyi, menggulung lengan kemeja panjangnya, memakai sarung tangan dan siap-siap duduk di kursi tindakan.

“Hebat dia,” puji dokter. ”Untung mutar pantat dulu, kalau nggak, bisa lebih lama lahirnya. Padahal pas gua cek terakhir, masih kepala.”
“Dok..,” tanya saya, “sebelum digunting nanti, dibius dulu nggak?” saya takut banget digunting. Padahal dulu pernah nanya, tetap aja nanya lagi.
“Nggak dong. Lu tenang aja, nanti gua bikin lu nggak berasa sakit,” janjinya.
Lalu dokter memberi suster aba-aba untuk semprotkan spray betadin.
“Ayo, sayang, bukaan udah lengkap,” kata dokter penuh semangat. “Tuh udah keliatan pantatnya, tunggu mulas datang lalu dorong yang kuat ya.”
Dokter menoleh sekeliling ruangan. “Heran.., lu masih kedinginan ya, padahal dari tadi AC udah gua matiin.”
“Iya.. dingin banget,” sahut saya menggigil.
“Sabar ya, sebentar lagi udah mau lahir. Tuh infus juga udah gua stop,” kata dokter.

Saya mulai mengedan, tapi caranya salah, tenaganya terlepas hanya sampai di mulut. Ternyata cara ngedan bisa lupa juga. Suster mengajari saya bahwa harus mendorong kuat ke bawah, seperti hendak ee yang keras sekali seperti batu. Akhirnya saya berhasil ngedan dengan benar. Saya mengedan beberapa kali. Suster dan dokter kasih semangat terus-terusan.

Bagus, bagus, dikit lagi, dikit lagi. Cakep, cakep banget, ayo lagi.
Mustinya sekali ngedan 2-3 kali dorong, tapi saya hanya kuat 1½ kali, lalu saya kasih tanda pakai tangan, “stop…stop dulu.., nggak kuat…ambil napas dulu ya…”
“Boleh. Nggak apa-apa. Gua tungguin kok,” kata dokter santai. Dokter dan suster berhenti menyoraki semangat, menunggu mulas datang lagi.
Dengan sabar dokter menunggu sambil mengobrol dengan suster-suster. “Lu orang pada mau makan padang nggak?”
“Nggak mau ah, kalo padang, baru aja makan,” jawab suster. “Emang Dok belum makan? Udah jam berapa nih?”
“Belum makan, nggak sempat. Makan apa ya? Bosan makan soto.”
Dokter memperhatikan suster satu-persatu, mukanya sumringah, kocak banget, katanya, “Lu orang cakep bener sih hari ini.”
“Cakep dong, Dok,” sahut suster-suster pamer.
“Pakai safari biru. Nggak kayak suster deh, bikin orang pangling aja. Udah kayak orang kantoran. Hallo.., di sini resepsionis. Bisa dibantu?” tertawanya riang memenuhi seisi ruangan. Semua suster tertawa.

Aduh, orang lagi mulas sempet-sempetnya pada bercanda.

Belum lagi dokternya bercanda-canda pakai bahasa Jawa sama suster, mereka semua tertawa riang. Saya nggak ngerti.
“Kalau di desa,” kata dokter, “mau lahir sungsang nggak masalah. Tapi orang kota malah takut setengah mati, pada minta dicasesar. Padahal sama aja. Orang desa malah kalau dibilang mau caesar, sudah kayak mau mati, udah dibaca-bacain.”
“Betul, Dok,” jawab suster, “sudah sekalian disiapin buat upacara pemakamannya juga.”
Ada sepuluh kali lebih saya mengedan, tapi tidak juga mau lahir.
“Untung panggul lu gede, Yen,” kata dokter. “Jalan lahir juga bagus banget. Udah cakep bener nih. Ayo dikit lagi, ya,” dokter terus memberi semangat.
Lalu dokter dan suster kembali bercanda disela-sela saya ambil napas. Semuanya santai.

Seorang suster memberikan lengan dan rusuknya untuk menjadi pijakan bagi kaki saya.
“Dok, nahannya musti gini, nih,” kata suster sambil menyampingkan badannya. “Kaki nahan disini, ngedannya jadi lebih kuat.”
“Pinter betul lu!” dokter memuji. “Jadi seperti pijakan ya.”
Saya meminta suster di sebelah kanan saya juga sedikit menyamping, menahan kaki saya sehingga pijakannya seimbang. Ternyata memang betul, tenaga saya jadi lebih kuat. Satu suster berada di atas kepala saya, melap muka saya yang keringatan. Jc bertugas membantu angkat kepala saya saat ngedan, “Ayo, dikit lagi, semangat,” bisiknya di kuping saya. Jc melihat saya seperti mau tidur-tiduran, padahal saya sedang menghimpun tenaga buat ngedan berikut sambil tunggu puncak mulas datang lagi. Suster sempat akan memasangkan oksigen ke hidung saya, tapi saya menolak karena bikin ribet.

“Dok, kok nggak nyampe-nyampe sih?” tanya saya terengah-engah hampir kehabisan napas.
“Dikii.iiit lagi...,” jawab dokter sambil tersenyum. “Kalau ini kepala, udah dari tadi gua vakum. Lha, ini pantat. Gimana mau divakum?” katanya sambil tertawa. “Ayo, coba lagi, gua tungguin kok, kali ini yang kuat lagi ya.” Dokter terus menyemati.
Lalu saya mengedan lagi beberapa kali. Akhirnya dokter berkata, “abis ini, ngedan sekali lagi yang kuat, baru gua gunting, ya.”

Kata ini yang paling membuat saya lega. Sampai juga di ujung. Kirain tidak berujung. Saya mau berdoa meminta kekuatan tambahan dari Tuhan tapi tidak bisa, otaknya sudah tidak bisa merangkai kata-kata. Tinggal satu dua kali lagi, ulang saya dalam hati, lalu saya meminta selimut tebal di atas dada saya dilepas, karena kepanasan, dan supaya tangan suster bisa bantu mendorong dari atas perut. Saya sudah mandi keringat, napas juga sanggupnya pendek-pendek, lelah, mulas.

Saya menarik napas panjang, menahan dan mendorong sekuat tenaga, dari atas saya melihat sesosok tubuh, pantat baby yang bulat perlahan keluar. Saat yang sama dokter menggunting perineum, rasanya lebih enak karena keluarnya jadi lancar, tidak terasa sama sekali saat digunting. Suster bantu mendorong dengan tangannya yang kuat, saya menarik napas kedua, semuanya terlihat, punggung bayi keluar perlahan. Dokter sudah menangkap baby dengan kedua tangannya, dan … bayi melesat keluar! Utuh, menekuk mencium lutut, seperti dipress.

Whuaaa! Selesai! Leganya! Semua sakitnya hilang. Lenyap begitu aja.

Saya menaruh kepala saya, tenaga saya habis, baru bisa bernapas sedikit panjang, tapi masih ngos-ngosan juga.

Dokter memegang baby dengan kedua tangannya, mengangkatnya lebih tinggi sehingga saya bisa melihatnya. Baby tidak menangis, dia terkulai diam.

“Meninggal ya, Dok?” tanya saya pasrah.
“Ya…,” jawab dokter pelan. “Baru aja meninggal.., masih merah, sesaat mau lahir, dia pergi...”

Dokter membetulkan posisi baby yang masih menekuk, satu tangan memegang kepala baby dengan hati-hati, satu tangan lagi menahan pantat baby, terlihat wujud baby yang mungil, matanya setengah menutup seperti sedang tertidur nyenyak, begitu damai…

Saya melihat jam di dinding, jam 2.30 siang, jam yang sama ketika Yesus berada di salib menjelang wafatNya.

Jc langsung menangis begitu melihat baby. Saya tidak menangis, tidak punya tenaga lagi untuk menangis. Jc merangkul kepala saya, dia menyembunyikan wajahnya dan menangis di kuping saya.

“Jangan nangis..,” pinta saya perlahan sambil meraih kepala Jc. “Saya aja nggak nangis..”

Saya tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.
Dokter menyerahkan baby ke suster.
Suster bertanya ke saya, “mau lihat?”
“Ya…,” kata saya lirih. ”Saya mau lihat siapa yang selama ini nakal di perut saya.”

Perlahan Jc mengangkat wajahnya, tetes-tetes air matanya berjatuhan. Mencoba berdiri tegar di sisi saya. Lalu Jc meninggalkan saya dan menghampiri suster. Saya melihat baby sebentar, serasa tidak percaya, baby cakep sekali. Perlahan saya membelai dengkulnya yang masih menekuk, membelainya sampai ke kakinya. Kecil sekali kaki-kakinya. Mungil sekali. Masih ada sedikit bercak darah di sana sini. Kulitnya masih terlihat keriput. Ancillo telah pergi diam-diam. Lalu suster membawanya pergi, tidak memberi saya kesempatan lebih lama sedikit untuk memperhatikan baby.

“Yenny..,” kata dokter, “sekarang lu punya satu tabungan di surga…., dia menunggu lu di surga.”

Saya diam saja. Mati rasa. Kosong. Ancillo sudah pergi ya.., tiba-tiba dia sudah pergi.

Seorang suster yang berdiri di dekat saya berkata perlahan, “Dok.., saya juga punya satu tabungan di surga.”
“Saya nggak tahu.., kapan?” tanya dokter menoleh padanya.
“Pergi umur dua tahun, Dok,” jawabnya sedih. ”DS”
“Dia juga sedang menunggu lu di surga,” hibur dokter.
Jc terus berada di samping suster, mendampingi baby.
“Mirip siapa?” saya bertanya pada Jc.
“Antara Vincent dan Francis,” jawab Jc.

Lalu dokter meminta saya untuk sekali lagi mengedan, tidak perlu kuat-kuat, untuk keluarkan plasentanya. Sambil menekan perut saya, plasentapun keluar dengan mudah. Tidak terasa sakit.

Dokter lalu menyuntikkan bius local sebelum menjahit, “gua tambahin satu suntikan, jadi tiga, biar lu nggak rasa sakit ya.”
Saya diam aja, memperhatikan suster menimbang baby.
“Beratnya 2410,” suster melapor.
Dokter langsung membalikkan badan, menoleh ke suster, “coba timbang lagi, masa cuma 2410, gede kok.”
“Bener kok, Dok, tuh 2410,” suster sambil menunjukkan jarinya di timbangan.
“Cuma segitu ya..,” guman dokter.
Badan baby cukup besar, sebesar baby 3 kilo lebih, ternyata otak dan tempurung beratnya sekitar sekilo sendiri. Panjangnya 46 cm.

Jc mengambil beberapa foto baby. Sehabis menyuntik dokter langsung menjahit. Saya sempat terpikir, apa nggak kecepatan, rasanya obatnya belum berfungsi. Tapi memang tidak terasa sakit. Saya bertanya perlahan, tenaga saya belum pulih, “Dok.., disini ada nggak orang yang nggak mau babynya, terus babynya ditinggal?”
“Gua nggak tahu. Kenapa?” tanya dokter.
“Kalau ada.., saya mau adopsi.” Saat ini saya ingin sekali bisa membawa pulang seorang baby.
“Ngapain lu adopsi?” tanyanya heran, tangannya berhenti bekerja. “Kalau lu masih bisa lahir sendiri, lu nggak bisa sayang anak adopsi.”
“Mau yang instant.., cape hamilnya..”
“Lu habis ini hamil lagi. Satu lagi.”
“Jangan deh, Dok..,” potong Jc, sambil menghampiri saya, menanyakan dimana saya menyimpan baju baby.
“Kenapa?” tanya dokter, menoleh pada Jc.
“Ngeri ngelihat dia lahirin. Nggak lagi deh,” jawab Jc.
“Dia mah takut banget saya mati, Dok” jawab saya masih bisa senyum. Jc memang selalu ketakutan bila di kamar bersalin. Tapi dia juga selalu setia menemani saya sampai tiga kali.

Saya memberitahu Jc kalau baju baby ada di tas tersendiri, di kamar. Lalu Jc pergi mengambilnya. Dokter melanjutkan, “lu lahir satu lagi, masih bisa, tapi next time lu pakai epidural aja, jadi lu nggak perlu kesakitan kayak gini. Kali ini kan nggak pendarahan, jadi boleh epidural,” kata dokter sambil menekan-nekan perut, “Kontraksi baliknya bagus kok.”
“Nanti mama saya marah kalau saya hamil lagi.” kata saya.
“Lu yang hamil, kok pakai nanya-nanya mama. Lu kan udah gede, putusin sendiri dong.”
“Lihat nanti deh… tapi nanti bisa keropos tulang lagi, kayak mama teman saya.”
“Nggaklah, asal lu rajin minum susu.”
“Nggak bisa minum..”
“Lu minum kalsium aja.”

Dalam benak saya cuma mau pulang rumah, terbayang wajah Vincent dan Francis, sudah dua hari saya tidak bertemu mereka. Kangen ama mereka.
“Dok..” panggil saya
“Ya?” dokter menoleh.
“Teman saya waktu itu suruh saya ke satu pendeta, yang katanya bisa sembuhin baby yang hidrocefalus, terus bisa sembuhin baby yang sudah meninggal dalam kandungan,” kata saya padanya.
“Trus, lu gimana?” tanya dokter.
“Nggak mau aja,” jawab saya pendek.
“Gua juga pernah dengar tentang dia,” sahutnya tenang. “Menurut gua ya, sampai sekarang.., belum ada manusia yang bisa bangkitkan manusia. Yang bisa cuma Yesus.”
Saya cukup terkejut mendengar jawabannya.

Sekeliling saya sudah sepi, tinggal saya dan dokter, sebagian suster sibuk dengan baby, sebagian lagi sudah bubar. Aneh rasanya, saya masih hidup ya. Saya mencoba memahami yang baru saja terjadi. Iya betul, saya masih bernapas walaupun terengah-engah. Saya masih merasakan tangan saya membuka dan menutup, ngilu bila terkena dingin, belum hilang juga sejak mulai hamil besar.

“Dok, kalau mau steril kapan?” tanya saya.
“Sekarang gini,” jawab dokter kembali menoleh.
“Bisa langsung?” tanya saya.
“Serius lu?” tanya dokter. “Lha.., gua udah jahit setengah baru bilang, mustinya tadi, pas gua belum jahit,” kata dokter. Tidak terdengar nada marah sedikitpun. Matanya menanti jawaban saya.
“Nanya doang kok,” kata saya.
“Lu ngagetin gua aja,” sahutnya lega. “Nanti aja kalau mau steril, pas lu kontrol lagi. Jangan sekarang ya, lu pikir dulu baik-baik, bukannya lu masih coba satu lagi?”
“Dok…”
“Hmm..?”
“Kenapa kalau udah tiga bulan musti dilahirin normal ya, bukan langsung kuret?” tanya saya.
“Ya, kan babynya udah gede. Lu lagi ngomongin yang barusan ya?”
“Iya, tadi pagi, dikuret ama Dr. ****”
“Gua juga baru tahu, tadi suster barusan cerita,” kata dokter pelan. “Dulu, dia pasien gua, kena rubella, gua minta dia pertahanin babynya tapi dia nggak mau..”
“Dia cerita kalau dokter nggak mau aborsi.”
“Ngapain aborsi?” suaranya datar, “rubella nggak napa-napa kok.”
“Mereka takut babynya cacat.”
“Tapi kan masih ada chance untuk normal? Kenapa musti aborsi?”
“Istrinya sempat berubah pikiran tadi pagi, tapi suaminya tetap nggak mau.”
“Gua pernah cerita ke lu kan pasien gua yang kena rubella juga? Sudah umur lima tahun sekarang, sehat-sehat aja.”
“Pernah.”
“Memang..,” kata dokter tertahan, “kalau rubella diaborsi, secara medis dibenarkan…” Suaranya berat, terdengar begitu terpukul, kecewa dan pasrah, semuanya sudah terjadi...
“Kenapa dokter nggak langsung bilangin ke Dr. **** aja?”
“Ngapain?” tanya dokter, enggan.
“Dia sampai kelimpungan cari-cari dokter yang mau.”
“Dulu memang gua menyebut nama dokternya, tapi sekarang gua nggak mau rekomen siapa, biarin dia cari sendiri. Kalau baby diaborsi, kasihan..”
“Stop, Dok,” potong saya segera, “jangan cerita lagi, nanti saya nangis..”
Saya tidak mau menangis, untuk napas aja udah susah payah.

Dokter kembali bekerja. Tidak lama dokter merasa benangnya kurang. “Sus,” katanya, “tolong benang lagi dong, kayaknya kurang dikit.”
“Nanti musti lepas jahitan nggak?” tanya saya.
“Nggak, benangnya langsung menyatu dengan daging.”
“O begitu..” kata saya. ”Emang berapa jahitan, Dok? Parah ya?”
“Sus, ini berapa jahitan?” dokter balik bertanya ke susternya.
“Dulu orang memang ngitungin berapa jahitan,” jawab suster sambil memberikan benang yang diminta dokter. “Sekarang nggak lagi, udah nggak dijahit, teknik jahitnya beda, jadi nggak bisa dihitung. Disulam ya, Dok, namanya?”
Dokter cuma senyum mengangkat bahu.
“Udah cukup, Sus, nggak jadi nambah benang deh, kayaknya benangnya pas banget panjangnya.”
Lalu suster pergi, menyimpan balik benang di lemari.

“Dok, yang seperti ini pasien ke berapa?” tanya saya.
“Kedua,” jawabnya pelan. “Yang pertama waktu gua masih di kampung, sama seperti lu, sungsang juga.”
Dokter menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak. “Pas tengah-tengah lahiran, mendadak ibunya emboli, jantungnya langsung berhenti.”
Dokter terdiam sesaat.
Saya menunggu dokter melanjutkan ceritanya. Emboli, pikir saya, udara masuk ke pembuluh darah, selalu fatal.
“Ibunya kejang-kejang..,” lanjut dokter, “langsung pakai segala cara untuk pacu jantung ibunya, berjuang mati-matian untuk selamatin ibunya..”
“Selamat nggak ibunya?” tanya saya pelan dengan napas tertahan.
“Selamat….,” kalimatnya menggantung.
“Terus?” tanya saya berbisik.
“Tapinya..,” kata dokter dengan sangat lemah, “abis itu ibu udah nggak bisa apa-apa lagi…”
Deg! Jantung saya terasa berhenti. Mati otak? tanya saya dalam hati, saya tidak berani bertanya lagi.

Hening. Kepedihan melintas. Lama terdiam.

Pasti berat sekali buat dokter saat itu. Kejadian ini seakan membuka kembali lembaran lamanya, kenangan yang menakutkan, juga menyedihkan. Saya menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, lalu membukanya kembali, mengamati sekeliling saya, masih sama seperti sebelum saya memejamkan mata. Untung saya tidak kenapa-napa.

Mata saya menerawang ke sudut atas ruangan yang putih bersih ini, saya melihat bayangan diri saya di sana, berdiri melayang di sudut atas, matanya memandang kosong ke depan, tatapannya hampa, sambil menggandeng baby. Dia memakai baju putih panjang yang sama seperti baju baby yang juga panjang. Matanya menyapu sekeliling ruangan ini, tampak punggung dokter dari belakang, kepalanya sedang menunduk, tampak pula diri saya yang sedang berbaring tak berdaya, wajahnya pucat, sedangkan di pojok ruangan tampak baby yang terbaring sendirian, tertidur dalam damainya, perlahan-lahan bayangan itu memudar, bergerak menjauh, semakin samar tertutup kabut putih, semakin mengecil…

“Gua nggak berani cerita ini ke lu,” suara dokter seakan menarik kembali roh saya ke tempatnya semula. “Kalo gua cerita, nanti lu tambah ketakutan..”

Saya terdiam.

Terima kasih atas kebaikanMu, Tuhan, telah memberi saya kesempatan hidup kedua. Pakailah diri saya yang sekarang ini seperti yang Kau ingini, untuk mencegah aborsi, seperti janji saya pada malam yang lalu. Kau berikan mujijat bertubi-tubi di saat-saat terakhir, di saat saya sudah tidak berani meminta apapun...

Saya menoleh ke kiri kanan, ruangan tambah sepi, hanya tinggal satu suster berdiri menemani baby, menunggu Jc membawakan baju untuknya. Cukup lama Jc balik ke kamar untuk mengambil tas berisi baju baby. Sepertinya dia sekalian mengabarkan ke mama saya di ruang tunggu bahwa saya selamat tapi baby tidak. Begitu melihat wajah Jc, adik saya langsung tahu bahwa mujijat kesembuhan baby tidak terjadi. Wajah Jc begitu sembab, matanya berair, mencoba tegar menghadapi ini semua. Dalam mimpinya, dia melihat seorang baby putih mungil tanpa cacat sedang tertidur pulas. Namun Tuhan telah menjawab doanya yang lain, kakaknya selamat. Tadi saya sempat mendengar Jc menelpon ke Atmajaya, untuk penjemputan baby. Tiga bulan lalu kami sempat ke sana untuk menanyakan kremasi untuk baby. Kami menyimpan kartu nama contact person tersebut. Sayangnya, beliau tersebut sedang tidak ditempat.

Sebelumnya, kami ingin baby dimakamkan di pemakaman yang baru di Krawang, dengan latar belakang bukit hijau, agar menjadi tempat peristirahatan terakhirnya yang damai, saya ingin kedua kakaknya mengetahui bahwa adiknya tertidur di sana, agar setiap tahun kami dapat mengunjunginya dan mengenangnya. Tapi mama saya tidak memperbolehkan, menurutnya kepercayaannya, baby sebaiknya dikremasi agar rohnya cepat kembali. Dia adalah Buddha yang menjalani reinkarnasi terakhir, perlu sekali lagi reinkarnasi agar sempurna menjadi Buddha. Jadi selama ini saya mengandung seorang Buddha?

“Jam berapa dijemput?” tanya dokter, sejenak perhatiannya beralih pada Jc yang kembali membawa tas baby.
“Nanti, Dok,” kata Jc, “sekitar jam 5 sore.”
“Atmajaya udah tahu musti ke sini, lantai 2?”
“Udah, udah dikasih tahu.”
Dokter memberitahukan suster agar nanti baby ditempatkan di ruang tindakan satu lagi yang lebih kecil, soalnya di sana tidak banyak orang yang mundar-mandir, ruangannya sedikit tersembunyi.

Saya kembali bertanya-tanya sendiri, kira-kira tadi berapa kali ngedan ya baru baby mau lahir. Mungkin sekitar duapuluh kali… untung saya tidak buta. Terima kasih sekali lagi ya, Tuhan.

“Satu jahitan lagi selesai. Gua pastikan lu nggak pendarahan,” kata dokter lega.
“Terima kasih ya, Dok..” Hanya itu yang mampu saya katakan padanya, saya tidak punya kata-kata lain untuk semua supportnya sampai detik ini.
“Sama-sama,” balasnya tulus.

Tidak lama kemudian dokter selesai, dia membuka sarung tangannya, menepuk-nepuk kaki saya, lalu bangkit berdiri perlahan dan langsung menghampiri baby. Lama Dokter berdiri di sana. Dia memperhatikan baby, mengucapkan selamat jalan dan melepas kepergiannya sambil berkata perlahan pada baby, “De.., inget-inget ama Om ya di surga…”

Dokter masih berdiam di sana, termenung.

Saya terharu mendengar kata-kata dokter. Tanpa saya sadari air mata pertama mengalir perlahan di kedua pipi saya. Sedari tadi saya belum menangis. “De, ingat mama juga ya di surga,” bisik saya lirih.

Suster merapikan saya dan memakaikan baju biasa, sarung dan korset. Saya berbaring lemah, dinginnya ruangan kembali terasa menusuk tulang, suster lalu menyelimuti saya dengan selimut tebal berwarna coklat, hangat sekali.

Ancillo sudah pergi, begitu tenang, bahkan dia tidak menyapa kami orang tuanya. Dia juga tidak meninggalkan kenangan akan tangisan pertamanya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya dia bisa bertahan hidup beberapa hari, dimana dia akan diletakkan, di kamar bersalin, di ruang bayi, di inkubator, di box baby, di sisi saya... bagaimana saya bisa kuat menghadapi detik demi detik, berjaga-jaga sambil memperhatikan napasnya satu-persatu, menemaninya terus di sisi saya, memandanginya sampai ajal menjemputnya. Dia benar-benar anak yang baik, tidak menyusahkan saya sama sekali. Benar-benar malaikat kecil saya dari Tuhan. Begitu istimewa. Begitu sempurna di mata saya. Satu jam lalu dia masih bersama saya, tadi siang juga dia tiba-tiba mutar. Anak yang hebat…

Dokter membalikkan badan, melangkah pelan sampai ke dekat gantungan baju di sudut ruangan, baru aja mau melepas jubahnya, namun seorang suster mengingatkannya kalau masih ada satu pasien lagi, sudah mau lahir.

Dokter teringat kembali, ada seorang ibu lain yang tengah menunggunya untuk menolong kelahiran seorang baby yang telah dinantikannya selama berbulan-bulan. Dirinya yang dipakai Tuhan menjadi perantara untuk menghadirkan buah cinta bagi kedua orang tuanya dan menjadikannya malaikat kecil di tengah keluarganya. Tangannya yang dipinjam Tuhan untuk menyelamatkan ibu dan anak. Dokter bergegas meninggalkan ruangan, menghampiri ibu itu.

Jc menemui saya, dia tampak kebingungan memilihkan baju untuk baby, beberapa baju baru kami bawakan, karena saya pikir baby dapat bertahan hidup beberapa hari. Saya memilihkan baju biru dasar putih, bergambar anak-anak domba, baju yang paling saya suka. Saya tidak mau baby memakai baju putih-putih, dalam benak saya, baby sedang tertidur nyenyak. Dia tidak mati, tidak pernah mati. Dia selalu hidup di hati saya. Selamanya.

Jc lalu memilihkan kaos kaki dan kaos tangan yang warnanya senada. Topi dipilihnya yang putih. Jc sudah tidak menangis.

Tak lama saya sudah boleh dijenguk, mama saya langsung menghampiri saya, wajahnya gembira sekali, anaknya selamat, begitu leganya melihat saya, lalu Jc menemaninya ke ruangan lain untuk melihat baby. Adik saya dan ipar saya bergantian menjenguk. Mama kembali menemui saya dan bilang babynya cakep, badannya bagus, dadanya bidang, seperti atlit, perutnya juga kempes tidak seperti baby lainnya yang buncit, baby perutnya rata, mekoniumnya sudah dikeluarkan saat bukaan delapan, bahkan baby pergi dengan benar-benar bersih. Pahanya gendut berisi, keliatan ada dua lipatan, tandanya kalau punya adik lagi pasti laki-laki.

Selama dua jam pemulihan, sakitnya sudah hilang. Dokter memang memberikan dua kapsul voltaren untuk anti sakit, tapi memang begitu baby lahir sudah tidak terasa sakit lagi. Seperti mimpi, perut saya kempes, kosong, tidak ada baby lagi yang menemani saya selama berbulan-bulan, dia telah pergi meninggalkan saya sendiri ...

Saya SMS ke satu teman kantor mengabarkan kalau saya sudah melahirkan dengan selamat dan sang malaikat kecil, Ancillo Dominic, telah kembali ke surga pada jam yang sama. Saya memintanya untuk tidak menelpon atau SMS, saya tidak mau diganggu. Berulang kali saya mencoba memejamkan mata untuk beristirahat, tapi tidak bisa, mungkin terlalu lelah. Setelah dua jam, saya didorong keluar oleh suster dari ruang tindakan. Sore itu sepi sekali, tidak ada pasien lain, suster juga bekerja dalam diam. Hanya terlihat tiga orang suster, biasanya cukup ramai.

Tidak semua lampu dinyalakan sehingga ruangan tampak sedikit redup. Ketika saya melintas di ruang tengah, dalam keremangan cahaya, saya melihat dokter sedang seorang diri, senderan dengan santai di kursi kayu, lengan bajunya masih tergulung, sementar jari tangannya asyik bermain Hp sambil menunggu jam 5 sore untuk praktek sampai tengah malam lagi. Dokter tidak sempat pulang rumah untuk beristirahat.

Suster sempat ragu mau membawa saya kemana, langsung ke kamar atau tetap di kamar bersalin. Mereka menoleh ke dokter, tapi dokter sudah tenggelam di dunia maya, mereka tidak jadi mengusiknya. Akhirnya suster memutuskan untuk tetap di kamar bersalin sesaat lagi. Jc menemani saya sambil sekali-kali menelpon ke Atmajaya, sore ini banyak yang meninggal sehingga jadwal penjemputan baby berubah-berubah. Saya berhenti menangis. Antara lega karena selamat dan berhasil melewati hal yang paling saya takuti selama ini. Jc juga sudah biasa.

Saya bertanya Jc, “Emang lu kelihatan babynya makin turun setiap kali ngedan?”
“Nggak” jawabnya santai. “Gua cuma ikutan-ikutan suster dan dokter kasih semangat terus. Mana kelihatan, gua kan berdirinya di kepala.”
“Dasar lu orang, tahunya semuanya cheerleader.”
“Lha lu nggak tahu, si dokter dan suster sengaja lagi bercanda-canda, biar nggak tegang. Tadi pas dokter nawarin makan padang ke suster, gua pengen nyahut tuh, ya pada nggak maulah, abis nawarinnya cuma padang.” katanya sambil tertawa.
“Gua sampe frustasi ngedannya, nggak nyampe-nyampe. Udah nggak bisa mikir.”
“Lu kan juga dibohongin ama dokter waktu dia bilang induksinya sudah di stop,” ledek Jc. Mata saya langsung melotot ke arahnya, hari ini dibohongin terus.
“Tadi susternya mainin infusnya,” lanjut Jc, “dinaik-turunin tetesannya, sampai cepat banget netesnya. Dokter diam-diam kasih aba-aba.”
“Kapan?” tanya saya.
Jc tertawa lagi, “lu nggak tau kan?”
Jc senang banget melihat saya kesal dibohongin.
“Tapi… hebat juga ya, bisa lahir..,” kata saya, “eh tadi aku sempat teriak kenceng banget ya, lu kaget nggak?”
“Udah lupa,” sahut Jc. “Udah panik soalnya.”

Jam 5 sore kami dipindah ke kamar. Saat akan pindah, terdengar di ruang tindakan, seorang ibu sedang menahan kesakitan. Sebentar lagi mau melahirkan. Saya langsung berkata ke Jc, “bilangin Sus dong, mau buru-buru pindah kamar, deg-degan dengernya, bikin terulang.”

Ketika sampai di kamar, tahunya mama, adik dan ipar saya sudah menunggu di sana. Jc masih sibuk dengan Atmajaya. Janji mereka jam 5 sore, tapi belum datang juga, katanya jalanan di jembatan tiga juga macet total.

Akhirnya Atmajaya datang juga menjemput baby. Tadinya Jc mau menyusul sendirian ke sana, untuk mengurus masalah administrasi, peti, jadwal misa, jadwal kremasi, tapi adik dan ipar saya menemaninya, karena Jc masih terlihat bingung. Ini pertama kalinya dia mengurus kematian.

Sampai jam sembilan malam keluarga saya berdatangan, mereka melihat foto-foto baby di kamera. Mereka mengatakan kalau babynya bagus, badannya sehat, berisi, mukanya bagus, meninggalnya juga tenang. Saya sudah tidak sedih. Ketika malam hari sudah pulang semua, Jc mengurut kaki tangan saya dengan minyak telon, mulai terasa pegal-pegal. Enak diurut-urut, hangat. Seluruh bengkak di telapak kaki, paha, lengan, jari tangan hilang semua, airnya seperti diserap semua oleh tubuh. Tubuh manusia memang penuh keajaiban.

“Saya masih mau satu baby lagi,” pinta saya. “Abis ini, kita treatment ya ama dokter, biar baby nggak gini lagi…”
“Nggak lagi deh..” kata Jc menawar.
“Yang tadi kan sakitnya udah maksimal, udah diinduksi, baby nggak bantu dorong, gede, sungsang pula, masih bisa tahan kok. Lain kali pasti nggak sesakit gini, lahirin normal lagi juga berani, nggak trauma,” kata saya berusaha meyakinkan Jc.
“Nggak deh..,” kata Jc sambil mencium pipi saya. “ Ini peringatan dari Tuhan, kalau minta nggak boleh berlebih. Udah punya dua, masih minta satu lagi sih…”
“Nanti ya kita planning lagi,” kata saya berkeras.

Penderitaan dan penantian panjang selama sembilan bulan sudah lupa. Sakitnya melahirkan juga udah lupa semua. Berlalu begitu aja. Saya memang short-memory, teman saya sampai bilang saya seperti Dori, temannya Nemo.

Malam itu saya tertidur, walau sebentar-sebentar terbangun. Untaian rosario menggantung dekat selang infus, menemani saya saat terjaga, langsung saya teringat untuk menitipkan Ancillo pada Yesus. Saya kesepian sekali. Kembali menangis membayangkan Ancillo. Tadi suster begitu cepat membawanya pergi. Apakah memang begitu, supaya ibunya tidak terbayang-bayang akan babynya.

Saya belum sempat memeluknya, belum mencium pipinya, belum mendekapnya, rindu ini tidak tertahankan. Saya ingin sekali lagi bisa membelainya, mengulanginya. Saya mengambil kamera, mengamati fotonya satu persatu. Suster mengikat kedua tangannya dengan kain kanfas putih, begitu juga kedua kakiny. Jc bilang, suster sempat mengatur mulut baby agar tidak terbuka, dan hendak mengikat rahangnya dengan kain kanfas putih. Tapi Jc melarangnya, dia tidak mau babynya diikat-ikat seperti orang mati. Biarkan dia berpenampilan seperti baby lainnya, seakan sedang tidur yang nyenyak. Matanya sedikit terpejam, tidak sampai menutup rapat, bola matanya kelihatan, baby seperti sedang terkantuk-kantuk. Kulitnya putih bersih, dadanya bidang, lengannya putih-bersih berisi, pahanya juga berisi, sehat sekali, telapak kakinya kecil, jari tangan kecil, begitu mungil, pipinya tembem, mulutnya mungil, hidungnya mungil, mancung, wajahnya imut-imut.

Suster menutup atas kepalanya dengan kain bedong biru, baby tidak dapat dipakaikan topi karena topinya kebesaran, bila dipaksa pakai topi akan menyarungi seluruh mukanya. Foto lain memperlihatkan baby sudah dipakaikan pakai baju overall biru tangan panjang bergambar anak-anak domba, baby kelihatan begitu manis dengan bajunya yang kebesaran sedikit, kalau dipakaikan pampers pasti bajunya pas. Baby memakai kaos tangan dan kaos kaki, siap dibawa pulang… kalau saja dia tidak meninggal.

Jc bilang, ketika dijemput tadi, dia sempat melihat kalau baby sudah mulai kaku, jari-jari kakinya membiru. Tapi mukanya belum membiru, masih sama. Saat ini baby sedang sendirian di Atmajaya, tidak ada yang menemani disana, udah masuk peti, dititip di ruangan F1 di lantai dasar.

To be continued ...

5 comments:

Anonymous said...

terharu gw baca ceritanya. sempet kaget waktu baca bagian aborsi, tp ternyata bgto crt nya.
gw pasien dr.Tjien Ronny jg. anak gw skr 2thn lbih. tahun dpn rencana mau lagi.
sampai nangis tadi gw bacanya. u kuat bgt. dl gw smpt keguguran 4bln. tu aja gw nangis2 waktu mau dikuret. sampe kebawa mimpi bsk2 nya. smelem gw baru mimpi lagi anak gw jadi bayi yg kecil bgt. trs dia blg klo pipinya sakit. bangun2 aja gw nangis. ga tau tu apa artinya.
gw cm mau kasih semangat k u, pny lagi yah ^^

Pucca said...

hai..ini bukan cerita tentang gua lo..gua hanya meneruskan ceritanya :)

waduh..pernah keguguran ya..sampe mimpi2 ya :(
yang kuat ya..

Anonymous said...

airmata ku mengalir membaca cerita mu. pengalaman kamu sama dengan yang baru aku alami, baby perempuan ku jg anenchephalic. lahir secara caecar 5 september 2008 dan meninggal 7 september 2008.ku beri nama QUEENA RUBY RAMADHANI. 2 kakak nya lelaki 4thn dan 2 thn jg lahir caecar. aku sungguh bisa memahami emosi kamu, suami, anak2 dan keluargamu. biar kenangan ini mempunyai makna tersendiri buat kita sbg seorang ibu

Anonymous said...

Saya Tiwi 0813 1088 9165 email retno.pratiwi@jst.com.sg Saat ini saya hamil anak ke 3, usia kandungan 7 bulan. Bayi perempuan di perut saya didiagnosa porencephaly. Hati saya pedih menunggu detik2 kelahirannya. Bolehkan saya mengenal mbak Yenni/mama Ancillo ? dan mba Sylvia Moonde/mama Queena ? Saya ingin belajar menjadi kuat seperti mba semua. Satu sisi saya mohon mujizat terjadi tapi satu sisi saya ingin berserah total pada kehendak Tuhan. Mohon diperbolehkan mengenal mba sekalian.

Pucca said...

@sylvia&tiwi: saya gak ada alamat imel yenny, tapi mudah2an ada ada yang menghubungi kamu ya. tetap tabah ya :)