In Memoriam, Ancillo Dominic - V (End)

H+1

Jam 6 pagi kami sudah jalan-jalan ke lantai dasar. Sudah lewat dari delapan jam setelah melahiran, saya sudah boleh belajar berjalan. Saat pertama berjalan, masih sedikit limbung, sambil memakai kain sarung, saya berjalan keluar, Jc menuntun saya. Luka jahitan tidak terasa sakit, hanya saja ketika duduk saya harus mencari posisi sedikit miring. Lantai dasar kosong, beberapa lampu menyala. Tempat ini begitu tenang, tidak ada keramaian seperti biasanya.

Mama saya datang jam 7 pagi, dia akan menemani saya sampai siang nanti karena Jc akan ke Atmajaya sebelum jam 8 bersama kakak saya dan ipar sesuai rencana. Sambil menunggu dokter visit, saya sempatkan membalas beberapa SMS turut berduka cita dari teman-teman senusantara, rupanya berita meninggalnya baby di email ke all user dalam berita duka-cita company, Hp saya sampai full, email saya juga full. Tiba-tiba jadi orang beken. Sedihnya..

Jam 9 pagi, dokter visit. Mama saya menanyakan kapan boleh pulang dalam bahasa mandarin. Kata dokter, sebentar siangan juga boleh pulang. Tapi saya minta diperpanjang sehari lagi untuk istirahat. Dokter mengijinkan.

“Dok, apa boleh minum Pien Zhe Huang?” tanya mama masih dalam bahasa mandarin.

Lalu dokter menjelaskan ke mama saya kalau untuk luka yang terbuka seperti akibatan bacokan, habis dijahit kan pendarahannya sudah stop, boleh makan obat ini. Tapi ini kan di rahim, pendarahannya di dalam, darahnya harus dikeluarin, kalau makan obat ini malah bikin tambah pendarahan. Bahkan rumah sakit di Shanghai sendiri, habis melahirkan tidak dibolehkan lagi pakai obat ini. Saya mengerti sedikit-sedikit apa yang mereka percakapkan.

Mama menanyakan satu obat lagi, bagaimana kalau So Hap.
“O itu boleh, untuk buang angin” kata dokter meyakinkan mama saya. “Minum aja, boleh, nggak apa-apa.”
Dokter menerangkan lagi kalau kemarin kan rahimnya gede, sekarang kecil, kosong, otomatis masih ada angin di dalam. Lalu dokter bilang ke suster, “Sus, nanti resepin Rantin ya, biar perutnya nggak kembung.”

Setelah dokter pergi, mama saya masih terkesima ama dokter.
“Cakep ya, Ma?” tanya saya.
“Handsome, kayak bangsawan kerajaan,” jawab mama senyum-senyum. “Ada belajar kedokteran di Shanghai lagi.”
Ha? Saya sampai terheran-heran, kapan dokter bilang belajar kedokteran disana, nggak tahu deh.., saya yang tidak dengar bagian ini atau memang saya yang tidak mengerti ketika mereka asyik mengobrol pakai bahasa mandarin tadi.

Jc pulang menjelang makan siang, terjadi sedikit kekacauan di Atmajaya. Kemarin dia pesan agar ada misa keluarga, pihak Atmajaya menyanggupi karena mereka punya kerjasama dengan pastur gereja Stella Maris. Tahunya pagi ini yang datang hanya petugas dari seksi sosial untuk doa keluarga, bukan misa. Untung kakak saya kenal dengan Rm. John, kebetulan romo tidak keberatan langsung dijemput walaupun dia sudah janji dengan orang lain. Jadinya, serba mendadak, acara mulai agak siang karena kakak saya menjemput romo dulu.

Romo John bilang kalau Tuhan begitu sayang dengan Ancillo yang sejak dari kandungan sudah begitu menderita sehingga begitu lahir, Yesus langsung memanggilnya ke dalam pelukanNya untuk menjadikannya malaikat kecil di surga dan untuk menjadi malaikat kecil bagi keluarganya, menjaga ibunya supaya cepat pulih, ayahnya yang menyayanginya, dan keluarganya, walaupun dia langsung dipanggil Tuhan, setidaknya dalam waktu sembilan bulan dia sudah merasakan kehangatan dan kasih sayang ibu dan ayahnya, tetap menerima dan menjaga dia dan tetap mempertahankannya sampai lahir dan tidak mengambil tindakan apapun yang bisa melenyapkannya.

Ancillo sekarang sudah di surga, menjadi malaikan dan suatu hari nanti, dia juga yang akan berdiri menyambut ibunya untuk mengucapkan terima kasih atas kasih sayang yang dirasakan sewaktu dalam kandungan. Dalam misanya romo mengatakan, “Bahwa ayah ibunya yang telah menantikan dengan kasih sayang, namun rencanaMu lain dari kerinduan manusia. Anak ini hanya Kau titipkan sebentar saja dalam pangkuan mereka, tapi sekarang Kau ingin dia kembali ke pangkuanMu. Biarlah Kau menguduskan dia sepenuhnya dengan rahmat dan tebusan dari PutraMu agar dia kembali kepadaMu, Kau jemput dia, sambut dia dan Kau berikan tempat dalam kedamaian yang abadi”.

Lalu romo mencipratkan air suci pada Ancillo yang tertidur di peti kayunya, katanya, ”Air suci akan diurapkan bagi dia sebagai tanda baptis, yang diimani keluarganya sebagai lambang kasih dari orang tua dan keluarganya yang mengharapkan Engkau berbelas kasih kepada anak ini dan menyambut dia dalam suka cita yang sempurna.”

Romo menutup misa dengan memberikan berkat, “Atas nama keluarga, atas nama gereja, yang mencintai engkau, saya menyerahkan kau kembali. Pergilah dalam damai anakku, semuanya sudah selesai buat engkau di dalam dunia ini. Berangkatlah membawa tanda kemenangan yang telah dimateraikan untukmu sejak engkau masih dalam kandungan, biarlah engkau diterima dalam malaikat-malaikat yang kudus, dan engkau akan dijemput oleh kalangan pilihan Allah. Berangkat dan temuilah Allah Bapa yang menciptakan engkau, temui Yesus yang menebus engkau dengan kuasa darah salibNya dan Roh Kudus yang menuntun engkau selama berada di dunia ini. Datanglah dan tinggallah bersama para kudus, untuk selamanya memuliakan Tuhan dalam kerajaan yang abadi. Doakan juga orang tua dan seluruh keluarga agar mereka selamat dan sehat sejahtera di dunia sampai Bapa di surga mengumpulkan kamu semua dan kita sekalian dalam rumah yang abadi di surga. Pergilah dalam damai anakku, demi nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin”

Jc menghantar Ancillo sampai ke mobil jenasah, pihak Atmajaya yang akan membawanya ke Nirvana, untuk kremasi kemudian abunya disebar di laut. Untuk baby yang meninggal, biasanya pihak keluarga tidak menemani.

Selamat jalan, Ancillo, malaikat kecilku, malaikat kesayanganku...

Saya meminta mama saya untuk mencarikan nama mandarin untuk Ancillo, namun mama saya bilang kalau dia sendiri kaget begitu tahu nama baby adalah Ancillo, kenapa namanya bisa begitu pas, dalam bahasa mandarin artinya ‘Istirahat dalam damai’. An dari phing an, Si dari sui si, Lo dari khuai lo artinya gembira-damai-tenang, An Si artinya istirahat. Kata ini biasa dipakai oleh gereja untuk orang yang meninggal. Sedangkan Budha memakai kata lain chien ku atau sien yu.

Istirahat dalam damai… Ya, nama yang pantas diberikan untuk dirinya. Istirahat dalam damai bersama Yesus di surga…

Kami melewati seharian di rumah sakit berdua, seperti honey moon kedua. Tapi kali ini penuh dengan kesedihan walaupun kami sudah merelakan baby pergi. Sejak pagi badan saya sakit semua, lebih sakit dari kemarin, seperti orang baru olahraga berat. Seperti baru pulang hiking. Mungkin saya terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk ngedan. Memang enakan memakai epidural, badan tidak sakit-sakit, karena tenaga tidak habis untuk menahan sakit.

Saya belum dapat berdiri lama, lebih banyak duduk atau setengah tiduran. Ajaib, bekas jahitan sudah tidak terasa sakit, biasanya sampai dua minggu baru hilang. Ketika sore hari, saya jalan-jalan ditemani Jc. Kaki kami selalu berjalan menjauhi ruang baby, menghindarinya, tidak berani melihat baby-baby yang dipajang, pasti semuanya menggemaskan entah yang sedang menangis maupun yang sedang tidur pulas.

Malam hari keluarga Jc datang, mama mertua saya baru diberitahu sore harinya. Jc sengaja menyembunyikannya berbulan-bulan, agar mamanya tidak sedih. Dia juga tidak memberi kabar sejak kemarin, menunda menceritakan, katanya biar semua beres baru dia cerita. Mama dan kakaknya melihat foto baby, cucu ketujuh bagi keluarganya. Mama hanya bilang kalau di kampung Riau dulu, dua puluh tahun yang lalu juga ada saudara yang lahir tanpa tempurung. Mamanya cukup berduka, dia begitu menyayangi cucu, jauh melebihi mama saya sendiri. Hidupnya sejak muda hanya untuk keluarga menjadi ibu rumah tangga yang penuh cinta.

H + 2

Pagi-pagi kami sudah merapikan kamar dan menaruh semua barang ke mobil. Saya sempat duduk-duduk di lantai dasar lagi, terkenang akan hari-hari Sabtu pagi yang lalu, hari biasa kami konsultasi dengan dokter, kami biasa drop buku pagi hari sebelum jam 6, misa pagi di gereja mulai jam 6, makan pagi di sekitar pluit, baru balik ke sini untuk tensi.

Semua tinggal kenangan, seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang, mimpi akan kerinduan menggendong seorang bayi mungil. Mimpi itu telah dikubur bersama debur ombak di laut luas, di bawah langit yang terbentang tak berujung. Kursi-kursi masih kosong, lampu juga masih gelap. Sebentar lagi satu hall ini akan penuh dengan pasien ibu-ibu hamil, dari hamil kecil sampai hamil besar, semua punya harapan yang sama, menantikan kelahiran seorang bayi yang sehat dan sempurna.

Apakah saya masih ada kesempatan, mengulanginya sekali lagi? Entahlah, mungkin saya harus menunggu lama, atau selamanya kesempatan itu tidak pernah datang. Ayo semangat, saya mengingatkan diri saya sendiri, masih ada dua anak tercinta menunggu di rumah, tunjukkan dirimu yang baru, di kesempatan hidup kedua ini.

Kamar sudah kosong, sehingga nanti sehabis dokter visit, kami bisa langsung angkat kaki untuk pulang. Anak-anak sudah tidak sabar, Vincent bahkan sudah menelpon dari pagi hari mengingatkan Jc untuk mengantarnya ke sekolah untuk pesan seragam baru, seragam SD. Francis juga bilang kalau dia mau ikut ke sekolah. Sebentar saja baby-baby itu sudah besar, serasa baru kemarin saya membawanya pulang dari rumah sakit, sekarang sudah mau masuk SD, tahun depan Francis pun menyusul masuk SD.

Sejak kemarin anak-anak sudah mau datang menjenguk, tapi Jc tidak memperbolehkan, karena kami belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. Mereka hanya diberitahu bahwa adiknya sudah lahir tapi masih belum sehat.

Jam 8 pagi, dokter visit, seperti biasa dengan senyumnya yang hangat, sehangat matahari pagi hari itu. Dokter memeriksa sebentar, semua oke, saya diperbolehkan pulang. Saya diingatkan untuk kontrol minggu depan.

Jam 8.30 semua sudah beres, kami sudah meminta bagian administrasi sejak pagi, jadi bisa secepatnya pulang. Saya duduk di kursi tunggu, tempat biasa keluarga menunggu kelahiran. Tidak sampai lima orang sedang menunggu, tampangnya cemas, menantikan kelahiran. Sama seperti Jc kemarin-kemarin. Saya melihat dokter muncul dari pintu samping, rupanya dokter sudah selesai visit, lalu dia sempat bicara sebentar dengan seorang keluarga pasien, mendengarkan dengan telaten, salaman lalu bergegas turun lewat tangga samping.

Dari balkon saya melihat, pasiennya sudah banyak menunggu. Thanks ya, Dok, kata saya dalam hati, entah bagaimana saya bisa melewati ini semua tanpa bantuanmu, dokter yang penuh dedikasi. Ancillo telah begitu banyak meninggalkan kenangan indah bagi saya, dia begitu berarti bagi saya. Saya beruntung bisa menjalaninya semua ini dengan begitu indah.

Sesampai di rumah, anak-anak sudah menyambut dengan begitu gembira, mereka berteriak, rebutan minta cium, tapi mereka tidak berani menanyakan dimana adik babynya. Mereka mengira adiknya masih belum sehat, sehingga masih ditinggal di rumah sakit. Adik saya membisikkan ke saya, bahwa sebelum mobil saya masuk rumah, Francis berkata kepadanya dengan bangga, “Sekarang aku sudah jadi koko lho, aku sudah punya dede baby.” Adik saya hanya bisa mengelus kepalanya sambil tersenyum pahit.

Francis sangat ingin jadi anak tengah, menurutnya lebih hebat dari pada jadi anak bungsu, makanya dia begitu menantikan adik bayinya lahir, sehingga dia boleh disebut anak tengah, bukan lagi si bungsu. Kami buru-buru mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Sudah hampir kesiangan, Jc langsung mengantar Vincent ke sekolah. Semua ikut.

Saya istirahat di rumah. Sepi sekali, tanpa anak-anak. Bayangan baby kembali menghampiri. Saya sangat merindukannya. Biarkan saya menangis sekali lagi, sendirian, selagi anak-anak tidak ada. Biarkan saya mengenangnya sendirian...

Saat tidur siang, kami menceritakan bahwa adik baby nakal di perut sehingga terlilit tali pusar, begitu kencangnya sehingga meninggal. Vincent langsung menangis, sedih sekali, dia begitu terpukul, dia sudah cukup mengerti akan arti kehilangan, kepergian dan kematian. Dia bilang, pokoknya dia tetap mau punya adik baby, ayo kita doa, minta ama Tuhan, tahun depan kirim lagi seorang baby. Francis bilang, nanti kalau Tuhan kirim adik baby lagi, setiap hari dia akan bilang baby supaya tidak nakal di perut mama, supaya tidak kelilit lagi.

Kami memperlihatkan foto adiknya yang sedang tertidur di peti mati. Sosoknya begitu mungil, hanya terlihat wajahnya, dibalut selimut putih dari leher hingga kaki, bahkan dikelilingi kain putih di peti matinya. Kami menyembunyikan foto di kamera, dimana kepalanya terlihat tidak utuh. Suatu hari nanti, kami akan memperlihatkannya.

Suster Vincent memberitahukan bahwa kemarin subuh sekitar jam 2-3 subuh, Vincent sempat terbangun dan memanggilnya. Begitu suster datang menghampirinya, Vincent sedang duduk di ranjangnya, dia menunjuk di sudut kamar, tempat Vincent menyimpan mainannya, itu siapa sus, katanya, sambil mengucek matanya, itu dede baby ya. Sus.., dede sudah pulang, tuh disana. Suster melihat tidak ada siapa-siapa disana. Lalu menemani Vincent bobo lagi.

Jumat subuh, pikir saya, Jumat siangnya baru dipersembahkan misa untuk baby. Mungkinkah Ancillo memang pulang ke rumah untuk pamit kepada kakak-kakaknya yang begitu merindukannya, begitu mencintainya.

Beberapa hari saya masih sering menangis saat malam hari dan pagi hari di saat rumah kosong dimana anak-anak berangkat sekolah. Kemudian saya mulai menulis cerita ini, sebelum memory saya menghapusnya seiring waktu. Kenangan akan baby begitu indah, saya tak ingin melupakannya. Dia begitu berarti bagi saya.

H+10

Jam 5 pagi saya sudah bangun, hari ini jadwal kontrol. Kami berangkat jam 5.30, lebih pagi lagi dari biasanya. Saya menaruh buku seperti biasa. Lalu buru-buru ke gereja Stella Maris sebelum jam 6, saya harus menyerahkan amplop berisikan tiga intensi misa hari ini, pertama-tama berterima kasih atas keselamatan saya, kedua untuk sepuluh hari meninggalnya Ancillo dan terakhir untuk baby yang diaborsi karena cacat. Tapi Romo Yos hanya menyebutkan dua intensi yang pertama. Romo mungkin bingung, untuk baby yang diaborsi, jumlahnya begitu banyak di dunia ini.

Sehabis misa, saya mampir membeli bermacam-macam roti untuk para suster di kamar bersalin. Harus pagi ini juga, pas pergantian shift, saat itu susternya paling ramai. Saya sangat ingin berterima kasih kepada semua suster, atas kesabaran mereka merawat saya selama dua hari. Kemudian saya antri dokter seperti biasa, tensi dan timbang. Berat badan turun drastis, sembilan kilo, sampai suster menggeleng-gelengkan kepala, menanyakan resep cepat balik. Saya juga tidak tahu kenapa, dari dulu selalu turun sepuluh kilo begitu pulang dari rumah sakit.

Dokter datang lebih pagi hari ini, jadwalnya sedikit berantakan hari ini, operasi caesar yang biasanya pagi, banyak bergeser jadi siang hari. Hari ini penuh sekali, lebih penuh dari Sabtu biasanya. Dokter memeriksa rahim saya lewat USG, bagus, jahitan bagus. Saya hanya mengeluh bagian kiri perut saya sedikit sakit. Kata dokter, memang biasanya masih sedikit sakit, karena rahim juga masih besar. Dia menyarankan untuk meneruskan minum obat anti sakit, tapi saya mengatakan kalau sejak pulang rumah sakit saya tidak minum lagi, selama saya masih bisa tahan.

“Dok, rahim saya turun nggak?” tanya saya
“Lu ke tukang urut, ya?” tembaknya.
Saya hanya bisa senyum malu, ketahuan. “Perutnya nggak diurut kok.”
“Jangan diurut ya, makin lu urut makin sakit. Pas diurutnya sih enak, tapi udahannya, lu lebih sakit.”
“Emang kalau rahimnya turun, diapain, Dok?” tanya saya.
“Ya nggak diapa-apain. Lu nggak angkat berat, kan?” tanyanya.
“Nggak.”
“Ya udah, asal lu nggak angkat berat, nggak usah takut rahimnya turun,” jawabannya menenangkan saya.

Dokter masih saja tersenyum, tiba-tiba dia geli sendiri. “Kalau rahim diurut bisa naik, apa bedanya dengan payudara?” tanyanya sambil memegang dadanya membentuk dua mangkok. “Apa payudara yang udah turun kalau diurut bisa naik lagi? Kan sama-sama otot.” Tampangnya nakal sekali.
“Kalau bisa, boleh juga tuh,” katanya sambil menahan ketawa, “sekalian pasang plang besar, ‘Payudara Kendor, Diurut Bisa Kencang Lagi’. Akhirnya meledak juga tawanya. “Wah bisa rame deh tukang urutnya.”
Kami ikut tertawa, kocak banget si Dokter.
“Eh Dok, emang tidurnya musti setengah duduk ya, biar darahnya keluar lancar?” tanya saya lagi.
Dokter berusaha pasang tampang serius, tapi tidak berhasil. “Kata siapa? Wah, lu pegel-pegel dong.” katanya kembali menahan ketawa.
“Kata mbak Jawa,” jawab saya. Sepertinya salah nanya lagi deh, kata saya dalam hati. Emang lumayan pegel, sudah beberapa hari saya tidurnya setengah duduk, mengikuti nasehat bidan tukang urut.
“Ini, ada mbak Jawa,” katanya sambil mengerling ke arah suster kesayangannya, suster tinggi berkacamata, “Sus, emang orang Jawa gitu ya?”
“Ya nggaklah, orang Jawa abis melahirkan juga biasa aja tidurnya,” jawab suster sambil senyum-senyum.
“Tuh, tidurnya biasa aja, ya,” ujarnya menasehati sambil senyum-seyum. “Biar lu istirahatnya juga enak. Lu aktifitas juga seperti biasa aja, biar darah keluarnya lancar. Asal jangan angkat berat-berat.”

Lalu dokter menanyakan sisa obat yang dibawa pulang dari rumah sakit.
“ASI lu dulu banyak nggak?” tanyanya.
“Dikit.”
“Gua resepin Parlodel aja ya, buat stop lu punya ASI,” nadanya baru serius. “Walaupun keliatannya ASI lu udah stop, lu tetap musti lanjutin minum, nanti dia bisa produksi ASI lagi. Lebih bagus lagi kalau dada lu dibebat.”
“Kapan boleh ngantor, Dok?” tanya saya.
“Dapat cuti tiga bulan kan dari kantor?” tanyanya balik.
“Cutinya sebulan aja, boleh?” tawar saya.
“Ngapain lu buru-buru ngantor? Nyantai aja lagi di rumah, istirahat dulu, ngapain kek.”
“Banyak kerjaan, Dok. Sebulan aja ya?” ulang saya.
“Nggak boleh,” jawabnya cepat. “Bulan depan lu balik, kontrol ama gua sekali lagi, baru gua bolehin. Tunggu 40 hari dulu deh baru ngantor.”
“Iya deh,” kata saya mengalah.
“Lu kontrol sebulan dari sekarang ya, terserah lu kapan,” pesannya. Lalu dokter mengulurkan tangannya memberikan salam sambil tersenyum manis, senyum khasnya.
“Oke deh,” jawab saya ringan.

The End.

Walaupun panjang banget, sampe gua bagi jadi 5 bagian, tapi gua gak nyesel posting cerita ini disini. Soalnya masih banyak juga yang blom baca ya, walaupun ada beberapa yang udah dapet imelnya.

Semoga niat baik penulisnya bisa sampai ke lebih banyak orang. Dan ternyata banyak juga yang mendoakan Ancillo dan mamanya. Semoga semua yang kita doakan didengar ya. Karena gua percaya, tidak ada satu doapun yang sia2 di mata Tuhan.

Dan semoga kita yang diberi kesempatan untuk membaca cerita ini, bisa memetik pelajaran berharga yang ingin disampaikan penulisnya lewat sharing ini.
Thanks untuk semua perhatian dan doanya :)

20 comments:

L'a Sugar said...

viol, thank you udah sharing cerita ini. dari part I sampe part V air mata gua ga bisa berenti. Sedih banget. apa gw bs sekuat Yenni ya? Iman gue rasanya belum sehebat dia deh.gua jadi takut punya anak nih.

Smoga Tuhan selalu memberkati Ancillo, dan semoga harapan Yenni utk punya anak lagi bisa terkabul. amin.

l3l1 said...

lu tau ngak vi? begitu selese baca email ini.. gue langsung punya calon dsog buat dikunjungi klo gue hamil nanti hehehe.... btw, sempet baca beberapa sharing dari blogger yg hamil pake dokter ini n emang katanya cakep dan perhatian hahaha.... tapi gue ngak tau klo sereligius ituu....

btw, lu ngak pasang fotonya vi? klo ngak salah dalam emailnya ada 3 foto kan?

Unknown said...

lel, dr thjien ronny itu kan pasiennya amit2 byknya. baca cerita nat dan mei yang harus taruh buku pagi2 trus balik ke rumah dulu baru dapat giliran periksa sih kyknya gue angkat tangan deh.

dr rumah gue ke rs family pluit aza udah jauh. hehe

Anonymous said...

hehehe iye lim.. gue cerita ama si jeff... ah malas ah rame gitu.. capek nunggunya kata dia hahaha

lu pake dokter apa lim?

Anonymous said...

wuaaah akhirnyaa gw baca sampe kelar juga.. dan bikin gw harus nahan2 air mata agar ga keluar di saat2 sela ngantor... fiuuh...

salut ama perjuangan dan kebesaran hatinya...
thanks for sharing viol :)

Pucca said...

@angel: sama2 angel. iya, gua juga nangis terus waktu bacanya. emang masalah cacat baby ini dilema ya. gua juga gak tahu nanti gua bisa sekuat dia atau nggak. salut deh buat dia dan suaminya.

@leli: lel, gua kan udah pernah ke dokter itu dulu, tapi cuma 2 kali. emang rame banget. mesti naroh buku trus jalan2 dulu di mega mall baru balik lagi haha. dan bener, dia cakep dan mukanya itu putih bersih banget! :D

@limmy: kalo lu kesana bisa seharian kali lim hehe. udah lu tetep cari disana aja :P

@fun: sama2 fun :)

7ustm3 said...

Fyuh..selesai juga dibabat sejem baca ^^ tadi awalnya antara mo baca ama ga...asli panjang yak hihihi...
trus jalan2 ke blog bu rt bentar.. eh reffer ke sini lagi ^^

Ga nyesel bacanya... aslii.. meaningful abis.. thnx for sharing ya ci ^^
Being so blessed to know this sharing too...

Anonymous said...

dokter yang baik banget.. yenni nya juga tabah banget ya.. such a nice story :)

Thanks tante.. bener bener ngerubah pandangan anung soal kehidupan :) *halah*

Anonymous said...

jadina ga didonasi ya jantungnya? did i miss sth? di emailnya diattach foto baby ancillo juga ya? penasaran pengen liat viol.. kirimin email bole nda? :P

Anonymous said...

menyentuh banget!

salut buat dokternya, trusketabahan Yenny..

speachless gua..

Anonymous said...

Gua dapet juga email ini. Sampe sedih bacanya. Salut untuk Yenny and suaminya. Ngga kebayang gimana rasanya, terutama sebagai ibu yang mengandung. Salut juga dengan kebijaksanaan Dr. Tjien Ronny.

naki said...

slesai juga baca-nya ... 2 jem bo hOshhh

semepet beler dikit pas dibagian baby-nya baru keluar , hikzZZzzz

Pucca said...

@tata: sama2 ta :)

@anung: yup, salut deh buat mereka berdua. jadi udah siap nih nung :P

@sakura: gak jadi deh kayanya wil. di indo sini susah kali ya buat ngedonor juga, gak ada informasi yang jelas.
lu mau fotonya? nanti gua kirim, sekalian ama wordnya aja ya hehe.

@aldo: kalo cowo speechless ya, kalo cewe sih udah nangis2 :P

@esther: iya, dokter itu jadi tambah terkenal lo sejak adanya imel ini. makin banyak aja deh pasiennya :P

@naki: hebat lu cuma dikit, gua udah meler dari awal :)

cokde_ngeblog said...

Thanks for sharing

Anonymous said...

Hi mo join n kasih comment juga yaa..
G juga dah baca tuch kisahnya Yenny via email n g sempet liat pic anaknya juga,asli nangis bombay euy... Palagi g lagi hamil juga nich dah jalan 8 bulan dan kebetulan g di tanganin ma dr.Tjien Ronny... emang tuch dokter wise and charming abis plus ganteng bgt..hehehe
Mudah2an Yenny kuat dech ya,n doain juga ya supaya pas g lahiran gk ada apa2...

Pucca said...

@cokde: sama2 :)

@nanath: wah nat, tinggal sebulan lagi donk. semoga lancar ya kelahirannya :D

Anonymous said...

ancillo sudah mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman disisiNya. semoga Dia selalu menguatkan keluarga yang ditinggalkan. sudah merupakan jalan terbaik yang diberikan olehNya dan salut luar biasa kepada orang tua dan dokter yang telah mempertahankan ancillo hingga Dia memanggilnya.

Caecilia Wibowo said...

WOW !! Hebat sekali buat yenny kalo g blm tentu bisa setegar dia n hebat religius sekali, g baru ini denger doa korokan n jadi tertarik utk coba doa ini.
Itu dokter hebat jg ya tp kali ngantri selama itu wihhhhh gempor...
Skr sih g lg hamil n so far sehat2 aja bayinya, ini jg berkat doa novena 9 hari n selalu doa di goa maria akhirnya g bisa hamil lagi yg kedua. Puji Tuhan !Tuhan Maha Besar !

Pucca said...

@caecilia: congrats ya buat kehamilannya :) semoga tetap sehat baby-nya dan semoga nular ke gua nih :D

Johnson said...

@angel: sama2 angel. iya, gua juga nangis terus waktu bacanya. emang masalah cacat baby ini dilema ya. gua juga gak tahu nanti gua bisa sekuat dia atau nggak. salut deh buat dia dan suaminya. @leli: lel, gua kan udah pernah ke dokter itu dulu, tapi cuma 2 kali. emang rame banget. mesti naroh buku trus jalan2 dulu di mega mall baru balik lagi haha. dan bener, dia cakep dan mukanya itu putih bersih banget! :D @limmy: kalo lu kesana bisa seharian kali lim hehe. udah lu tetep cari disana aja :P @fun: sama2 fun :)